Senin, 09 April 2012


Refleksi 60 tahun Kelahiran IPNU

IPNU, PESANTREN, SEKOLAH DAN 
MASYARAKAT  PEMBELAJAR


 

Mujtahidur Ridho SZ*


 

         
Reorientasi  dan  reparadigmatisasi  gerakan  IPNU,  sejak  terjadi  perubahan  Putra  menjadi  Pelajar  dalam  Kongres  di  Surabaya,  menjadi  keniscayaan.  Gerakan  IPNU  sekarang  berpusat  pada  pelajar.  Gerakanya-pun  seputar  dunia  pelajar   dengan  basis  sosial  pelajar  pada  dasarnya  organisasi kita  ini  sedang  mendayung  perahu  peradaban.  Untuk  jangka  pendek  mungkin  hasilnya  tidak  dapat  dilihat  begitu  saja.  Namun  dalam  jangka  panjang,  buah  gerakan  peradaban  tersebut  akan  menjadi  kekuatan  masyarakat  signifikan. Sebab  dimanapun,  kapanpun,  kekuatan  masyarakat  terefleksikan  dalam  kualitas  sumber  daya  manusia  generasi  mudanya.
Di  sini,  IPNU  memiliki  tangung  jawab  kesejarahan  penting.  Bagaimanapun  sumber  daya  manusia  merupakan  kemajuan  peradaban  masyarakat.  Apalagi  jika  dilihat  posisi  IPNU  sebagai  organ  yang  tidak  dapat  dilepaskan  dari  IPNU.  Sebagaimana  diketahui,  IPNU  merupakan  organisasi  dibawah  NU.  Kacamata  NU,  tugas IPNU  adalah  dua  hal pokok;  melakukan  advokasi  kebijakan  dibidang  pendidik an,  dan mendorong  tumbuhnya  intelektual-intelektual  muda  kritis.  Peran  tersebut  dapat  disederhanakan  sebagai  peran  membangun  masyarakat  pembelajar.
Jika  diidentifikasi,  peran  IPNU  sebagai  pendorong  masyarakat  sebagai  pembelajar  berada  dalam  dua  ranah,  yakni  ranah  struktural  dan  kultural.  Dua  ranah  ini  saling  sinergis  dan  digerakkan  secara  bersamaan.  Keduanya  merupakan  manifestasi  atas  penerjemahan  IPNU  sebagai  organisasi  adfokasi  kebijakan  dan  pembentukan  intelektual  muda.
Dalam  rana  yang  pertama,  IPNU  dituntut  kritis  terhadap  semua  produk  kebijakan  pendidikan.  Mulai  dari  tingkat  global,  nasional  dan  lokal.  Dalam  hal  ini  semua  kader  IPNU  seharusnya  memiliki  kesadaran  kritis  terhadap  dunia  ini.  Pendikan  bukanlah  wilayah  netral.  Dunia  pelajar  seperti  sekolah  atau  universitas  menentukan  bangun  masyarakat  Indonesia  5,10,15  tahun  yang  akan  datang.  Struktur  formasi  sosial  masyarakat  ke  depan  dilihat  saat  ini.  Disini  kita  menghadapi  paling  tidak  dua  medan  medan  pertarungan.
Yang pertama adalah pertarungan memenangkan rivalitas dalam merebut  kaum muda [ fastabikul-khoirot ]. Sebagai  mana  diketahui  sebagaimana  organisasi  yang  bergerak di  wilayah  pelajar bukan  hanya IPNU,  tapi  juga  ada  IRM,  PII,  bahkan  organ  mahasiswa  KAMMI  yang  sudah  masuk  melalui  organisasi  Rohis  di  sekolah-sekolah  favourite.  Pertarungan  di  wilayah  ini  menjadi  menarik,  sebab  dikemudian  hari  menentukan  peta  masyarakat  ke  depan. Jika saat ini masyarakat NU  masih  pinggiran,  katakanlah,  hanya  menguasai  DEPAG,  sebab  sampai  saat  inipun  IPNU-pun  hanya  bisa  bermain  di  wilayah  pinggiran.  Bahkan  di  wilayah  maarif,  atau  di  pesantren  yang  memiliki  pendidikan  formal,  yang  merupakan  kandang  sendiri ,  IPNU  belum  cukup mampu  berkibar.  Ringkasnya,  pergulatan  di  wi  wilayah  ini  dapat  di  simpulkan ;  penguasaan  organisasi  kita  dibasis  pelajar  secara  sosiologis  menentukan  penguasaan  NU  terhadap  sumber  daya  manusia  berkualitas.  Jika  tetap  dipinggiran,  ke  depan  ya  tetap  di  pingiran,  sekalipun ,  misalnya,  secara  politik  menguasai  parlemen,  atau  birokrasi.  Berapa  sekolah /universitas  umum  atau  negeri  yang  berhasil  diorganisir  IPNU  merupakan  gambaran  sejauh  mana  kekuatan  IPNU  di masyarakat   saat  ini  dan  kekuatan  saat  ini  dan  10  tahun  mendatang.
Pada  medan  kedua,  pertarungan  tersebut  akan  menghadap-hadapkan  antara  IPNU  sebagai  representasi  kekuatan  masyarakat  dengan  negara  atau  kekuatan  modal.  Disini  peran  kritis  IPNU  dalam  mendorong  kebijakan  publik  yang  populis  di  bidang  pendidikan  amat  strategis. Mendorong kebijakan tersebut sama artinya menciptakan masyarakat pembelajar melalui jalur struktural. Logikanya demikian. Untuk saat ini, menurut data Depdiknas tahun 2000, terdapat paling tidak 7,2 juta anak yang tidak dpat menyelesaikan bangku sekolah, yang terdiri dari 2,9 juta usia SD, dan 4,3 usia SMP. Pada sisi yang lainnya, beaya pendidikan semakin lama semakin mahal. Bahkan kian mencekik. Sementara jumlah masyarakat miskin Indonesia, jika mengacu kepada bank Dunia, mencapai 110 juta jiwa . Dengan mengasumsikan sebagian besar warga Nahdliyin adalah kelas menengah kebawah, maka sebagian besar korbannya adalah juga warga nahdliyin. Disinilah terjadinya kesenjangan antara kekuatan sosial ekonomi masyarakat dan biaya pendidikan akibat komersialisasi dan larinya negara dalam menunaikan tugasnya. Nah, jika IPNU berhasil mendorong kembali kebijakan pendidikan murah untuk rakyat atau bahkan geratis, sekali gerak, IPNU mampu menciptakan masyarakat pembelajar signifikan. Minimal memperbanyak jumlah masyarakat yang sekolah. Dengan sekolah berarti menjadi salah satu masyarakat pembelajar.
Seiring dengan otonomi daerah, maka sinerginitas gerakannya dilakukan dengan membagi wilayah gerak. Kebijakan Nasional menjadi tanggung jawab pengurus pusat untuk mengkritisinya dan mem-break down-nya kebawah. Sedangkan untuk kebijakan lokal seperti dalam anggaran pendidikan dalam APBD menjadi bagian kerja yang tidak dapat dilalaikan dari kepengurusan tingkat cabang. Gerakan kritis tersebut bukan hanya dibidang anggaran, namun juga yang lainnya. Kenyataan menunjukkan, anggaran pendidikan yang serba kurang masih dikorup dalam ruang lainnya. Seperti belanja negara dalam bidang pendidikan. Kasus di Ungaran Jawa Tengah yang menjadikan pengadaan buku sekolah menjadi bancakan eksekutif dan legislatif merupakan contohnya. Di wilayah non anggaran, IPNU juga harus memberikan sikap yang kritis terhadap berbagai isu pendidikan seperti kontrofersi ujian nasional.
Persoalannya adalah, problem pendidikan, dan dengan demikian problem masyarakat pembelajar, bukan hanya soal anggaran. Dalam sekolah atau universitas, dipenuhi sekian problem. Ini tidak lepas dari intervensi berbagai kepentingan dan ideologi dalam sekolah. Ideologi dan kepentingan modal merupakan yang paling dominan. Dengan ideologi ini masyarakat pembelajar diproyeksikan untuk menjadi bagian dari sistem produksi dan konsumsi. Akibatnya, fungsi pembelajaran sebagai pencerahan dan pembebasan menjadi hilang.
Sekolah juga menjadi ajang reproduksi kekerasan di masyarakat. Pola pengajaran dan pembelajaran yang mengedepankan perintah – paksaan mencetak manusia-manusia robot yang menginternalisir tradisi kekerasan dalam dirinya. Kasus perkelaian pelajar, penganiayaan atau pembunuhan yang melibatkan siswa, tidak dapat dilepaskan dari paradigme pendidikan.
Sekolah kita, mengutip kiosaki, juga bukanlah menjadi ruang pembelajaran yang mampu mengubah seseorang. Sekolah menciptakan mentalitas budak, mentalitas birokrasi dan gagal untuk sekedar mendorong manusia untuk bermimpi. Dalam rutinitasnya yang menjengukkan, sekolah justru menciptakan ketakutan. Sekolah menciptakan ketakutan orang untuk ketakutan salah, takut mencoba sehingga tidak transparatif dan kreatif. Out putnya pun jauh dari karakter yang mampu mendorong perubahan.
Selain ranah strukturan di atas, peran IPNU juga penting dalam ranah kedua, yakni kultural. Disini bahkan wilayahnya lebih luas. Mencakup bukan hanya sekolah, namun juga pesantren, santri dan masyarakat lainnya. Dalam ranah kultural ini membutuhkan waktu yang amat panjang, dan dengan demikian, kesetiaan permanen terhadap agenda ini. Tradisi membaca merupakan kultur yang tidak dapat diciptakan begitu saja. Namun membutuhkan rekayasa kebudayaan panjang.

Mendorong Terwujudnya Masyarakat Pembelajar

Kepeloporan IPNU dalam menciptakan masyarakat pembelajar ini dapat dilakukan dengan beberapa acara. Pertama, memulai dari sendiri. Artinya, pengurus IPNU juga harus bisa menjadi uswah khasanah, menjadi inspirasi bagi masyarakat, dengan membuktikan dirinya memiliki prestasi akademik yang membanggakan. Pengurus IPNU yang memiliki tradisi akademik bagus akan mendorong masyarakat untuk mencontohnya.
Kedua, menggalang dana beasiswa, dari masyarakat untuk membiayai pendidikan bagi masyarakat yang tidak mampu untuk meneruskan pendidikannya baik di Pesantren maupun sekolah. Potensi untuk ini amat besar. Namun selama ini belum ada konsolidator yang kredibel, transparan, akuntabel, yang memerankan peran ini di masyarakat nahdliyin. Kuncinya hanya satu, bagaimana manajemennya cukup dapat dipercaya oleh masyarakat. Disini ada dua varian yang dapat dilakukan, yakni menggalang dana dari masyarakat dan menggalang kerjasama dari pemerintah, lembaga donor atau universitas yang memiliki program bea siswa.
Ketiga, IPNU secara berkesinambungan menyelenggarakan berbagai kegiatan bernuansa kependidikan seperti bazar buku. Kegiatan ini menjadi penting bagi daerah yang jauh dari akses pengetahuan. Dengan menyelenggarakan kegiatan seperti itu akan mempercepat terciptanya masyarakat pembelajar. Langkah pertama dan utama kalau kita ingin membuat anak kita keranjingan membaca, kata seorang penulis adalah dengan menyediakan buku. Kegiatan ini akan mempercepat proses transformasi kesadaran masyarakat.
Keempat, melakukan semacam “Intervensi Kultural” dalam berbagai kegiatan kultural NU yang masih sangat marak seperti Haflah, tasyakur, haul, atau kegiatan lainnya. Intervensi yang dimaksud adalah menyisipkan agenda yang mampu meningkatkan kesadaran akan pengetahuan. Seperti seminar prahaul diikuti gerakan wakaf buku seperti yang sudah dilakukan pesantren Kesugian – Cilacap – Jateng.
Dengan beberapa langkah tersebut, IPNU akan menempatkan dirinya sebagai pelopor dan pendorong masyarakat pembelajar.


* Ketua Umum PP. IPNU 2003-2006