Refleksi 60 tahun
Kelahiran IPNU
IPNU,
PESANTREN, SEKOLAH DAN
MASYARAKAT PEMBELAJAR
Mujtahidur
Ridho SZ*
Reorientasi dan
reparadigmatisasi gerakan IPNU,
sejak terjadi perubahan
Putra menjadi Pelajar
dalam Kongres di Surabaya, menjadi
keniscayaan. Gerakan IPNU
sekarang berpusat pada
pelajar. Gerakanya-pun seputar
dunia pelajar dengan
basis sosial pelajar
pada dasarnya organisasi kita ini sedang mendayung
perahu peradaban. Untuk
jangka pendek mungkin
hasilnya tidak dapat
dilihat begitu saja. Namun dalam
jangka panjang, buah
gerakan peradaban tersebut
akan menjadi kekuatan
masyarakat signifikan. Sebab dimanapun,
kapanpun, kekuatan masyarakat
terefleksikan dalam kualitas
sumber daya manusia
generasi mudanya.
Di sini, IPNU memiliki
tangung jawab kesejarahan
penting. Bagaimanapun sumber
daya manusia merupakan
kemajuan peradaban masyarakat.
Apalagi jika dilihat
posisi IPNU sebagai
organ yang tidak
dapat dilepaskan dari
IPNU. Sebagaimana diketahui,
IPNU merupakan organisasi
dibawah NU. Kacamata
NU, tugas IPNU adalah
dua hal pokok; melakukan
advokasi kebijakan dibidang
pendidik an, dan mendorong tumbuhnya
intelektual-intelektual muda kritis.
Peran tersebut dapat
disederhanakan sebagai peran
membangun masyarakat pembelajar.
Jika
diidentifikasi, peran
IPNU sebagai pendorong
masyarakat sebagai pembelajar
berada dalam dua
ranah, yakni ranah
struktural dan kultural.
Dua ranah ini
saling sinergis dan
digerakkan secara bersamaan.
Keduanya merupakan manifestasi
atas penerjemahan IPNU
sebagai organisasi adfokasi
kebijakan dan pembentukan
intelektual muda.
Dalam rana
yang pertama, IPNU dituntut kritis
terhadap semua produk
kebijakan pendidikan. Mulai
dari tingkat global,
nasional dan lokal.
Dalam hal ini
semua kader IPNU
seharusnya memiliki kesadaran
kritis terhadap dunia
ini. Pendikan bukanlah
wilayah netral. Dunia
pelajar seperti sekolah
atau universitas menentukan
bangun masyarakat Indonesia
5,10,15 tahun yang
akan datang. Struktur
formasi sosial masyarakat
ke depan dilihat
saat ini. Disini
kita menghadapi paling
tidak dua medan
medan pertarungan.
Yang
pertama adalah pertarungan memenangkan rivalitas dalam merebut kaum muda [ fastabikul-khoirot ]. Sebagai mana
diketahui sebagaimana organisasi
yang bergerak di wilayah
pelajar bukan hanya IPNU, tapi
juga ada IRM, PII, bahkan
organ mahasiswa KAMMI
yang sudah masuk
melalui organisasi Rohis
di sekolah-sekolah favourite.
Pertarungan di wilayah
ini menjadi menarik,
sebab dikemudian hari
menentukan peta masyarakat
ke depan. Jika saat ini masyarakat
NU masih
pinggiran, katakanlah, hanya
menguasai DEPAG, sebab
sampai saat inipun
IPNU-pun hanya bisa
bermain di wilayah
pinggiran. Bahkan di
wilayah maarif, atau
di pesantren yang
memiliki pendidikan formal,
yang merupakan kandang sendiri ,
IPNU belum cukup mampu
berkibar. Ringkasnya, pergulatan
di wi wilayah
ini dapat di
simpulkan ; penguasaan organisasi
kita dibasis pelajar
secara sosiologis menentukan
penguasaan NU terhadap
sumber daya manusia
berkualitas. Jika tetap
dipinggiran, ke depan ya tetap
di pingiran, sekalipun ,
misalnya, secara politik
menguasai parlemen, atau
birokrasi. Berapa sekolah /universitas umum
atau negeri yang
berhasil diorganisir IPNU
merupakan gambaran sejauh
mana kekuatan IPNU
di masyarakat saat ini
dan kekuatan saat
ini dan 10
tahun mendatang.
Pada medan
kedua, pertarungan tersebut
akan menghadap-hadapkan antara
IPNU sebagai representasi
kekuatan masyarakat dengan
negara atau kekuatan
modal. Disini peran kritis IPNU
dalam mendorong kebijakan
publik yang populis
di bidang pendidikan
amat strategis. Mendorong
kebijakan tersebut sama artinya menciptakan masyarakat pembelajar melalui jalur
struktural. Logikanya demikian. Untuk saat ini, menurut data Depdiknas tahun
2000, terdapat paling tidak 7,2 juta anak yang tidak dpat menyelesaikan bangku
sekolah, yang terdiri dari 2,9 juta usia SD, dan 4,3 usia SMP. Pada sisi yang
lainnya, beaya pendidikan semakin lama semakin mahal. Bahkan kian mencekik.
Sementara jumlah masyarakat miskin Indonesia, jika mengacu kepada bank
Dunia, mencapai 110 juta jiwa . Dengan mengasumsikan sebagian besar warga
Nahdliyin adalah kelas menengah kebawah, maka sebagian besar korbannya adalah
juga warga nahdliyin. Disinilah terjadinya kesenjangan antara kekuatan sosial
ekonomi masyarakat dan biaya pendidikan akibat komersialisasi dan larinya
negara dalam menunaikan tugasnya. Nah, jika IPNU berhasil mendorong kembali
kebijakan pendidikan murah untuk rakyat atau bahkan geratis, sekali gerak, IPNU
mampu menciptakan masyarakat pembelajar signifikan. Minimal memperbanyak jumlah
masyarakat yang sekolah. Dengan sekolah berarti menjadi salah satu masyarakat
pembelajar.
Seiring
dengan otonomi daerah, maka sinerginitas gerakannya dilakukan dengan membagi
wilayah gerak. Kebijakan Nasional menjadi tanggung jawab pengurus pusat untuk
mengkritisinya dan mem-break down-nya kebawah. Sedangkan untuk kebijakan lokal
seperti dalam anggaran pendidikan dalam APBD menjadi bagian kerja yang tidak
dapat dilalaikan dari kepengurusan tingkat cabang. Gerakan kritis tersebut
bukan hanya dibidang anggaran, namun juga yang lainnya. Kenyataan menunjukkan,
anggaran pendidikan yang serba kurang masih dikorup dalam ruang lainnya.
Seperti belanja negara dalam bidang pendidikan. Kasus di Ungaran Jawa Tengah
yang menjadikan pengadaan buku sekolah menjadi bancakan eksekutif dan
legislatif merupakan contohnya. Di wilayah non anggaran, IPNU juga harus
memberikan sikap yang kritis terhadap berbagai isu pendidikan seperti
kontrofersi ujian nasional.
Persoalannya
adalah, problem pendidikan, dan dengan demikian problem masyarakat pembelajar,
bukan hanya soal anggaran. Dalam sekolah atau universitas, dipenuhi sekian
problem. Ini tidak lepas dari intervensi berbagai kepentingan dan ideologi
dalam sekolah. Ideologi dan kepentingan modal merupakan yang paling dominan.
Dengan ideologi ini masyarakat pembelajar diproyeksikan untuk menjadi bagian
dari sistem produksi dan konsumsi. Akibatnya, fungsi pembelajaran sebagai
pencerahan dan pembebasan menjadi hilang.
Sekolah
juga menjadi ajang reproduksi kekerasan di masyarakat. Pola pengajaran dan
pembelajaran yang mengedepankan perintah – paksaan mencetak manusia-manusia
robot yang menginternalisir tradisi kekerasan dalam dirinya. Kasus perkelaian
pelajar, penganiayaan atau pembunuhan yang melibatkan siswa, tidak dapat
dilepaskan dari paradigme pendidikan.
Sekolah
kita, mengutip kiosaki, juga bukanlah menjadi ruang pembelajaran yang mampu mengubah
seseorang. Sekolah menciptakan mentalitas budak, mentalitas birokrasi dan gagal
untuk sekedar mendorong manusia untuk bermimpi. Dalam rutinitasnya yang
menjengukkan, sekolah justru menciptakan ketakutan. Sekolah menciptakan
ketakutan orang untuk ketakutan salah, takut mencoba sehingga tidak
transparatif dan kreatif. Out putnya pun jauh dari karakter yang mampu
mendorong perubahan.
Selain
ranah strukturan di atas, peran IPNU juga penting dalam ranah kedua, yakni
kultural. Disini bahkan wilayahnya lebih luas. Mencakup bukan hanya sekolah,
namun juga pesantren, santri dan masyarakat lainnya. Dalam ranah kultural ini
membutuhkan waktu yang amat panjang, dan dengan demikian, kesetiaan permanen
terhadap agenda ini. Tradisi membaca merupakan kultur yang tidak dapat
diciptakan begitu saja. Namun membutuhkan rekayasa kebudayaan panjang.
Mendorong Terwujudnya Masyarakat
Pembelajar
Kepeloporan
IPNU dalam menciptakan masyarakat pembelajar ini dapat dilakukan dengan
beberapa acara. Pertama, memulai dari sendiri. Artinya, pengurus IPNU juga
harus bisa menjadi uswah khasanah, menjadi inspirasi bagi masyarakat, dengan
membuktikan dirinya memiliki prestasi akademik yang membanggakan. Pengurus IPNU
yang memiliki tradisi akademik bagus akan mendorong masyarakat untuk
mencontohnya.
Kedua, menggalang
dana beasiswa, dari masyarakat untuk membiayai pendidikan bagi masyarakat yang
tidak mampu untuk meneruskan pendidikannya baik di Pesantren maupun sekolah.
Potensi untuk ini amat besar. Namun selama ini belum ada konsolidator yang
kredibel, transparan, akuntabel, yang memerankan peran ini di masyarakat
nahdliyin. Kuncinya hanya satu, bagaimana manajemennya cukup dapat dipercaya
oleh masyarakat. Disini ada dua varian yang dapat dilakukan, yakni menggalang
dana dari masyarakat dan menggalang kerjasama dari pemerintah, lembaga donor
atau universitas yang memiliki program bea siswa.
Ketiga,
IPNU secara berkesinambungan menyelenggarakan berbagai kegiatan bernuansa
kependidikan seperti bazar buku. Kegiatan ini menjadi penting bagi daerah yang
jauh dari akses pengetahuan. Dengan menyelenggarakan kegiatan seperti itu akan
mempercepat terciptanya masyarakat pembelajar. Langkah pertama dan utama kalau
kita ingin membuat anak kita keranjingan membaca, kata seorang penulis adalah
dengan menyediakan buku. Kegiatan ini akan mempercepat proses transformasi
kesadaran masyarakat.
Keempat,
melakukan semacam “Intervensi Kultural”
dalam berbagai kegiatan kultural NU yang masih sangat marak seperti Haflah,
tasyakur, haul, atau kegiatan lainnya. Intervensi yang dimaksud adalah
menyisipkan agenda yang mampu meningkatkan kesadaran akan pengetahuan. Seperti
seminar prahaul diikuti gerakan wakaf buku seperti yang sudah dilakukan
pesantren Kesugian – Cilacap – Jateng.
Dengan
beberapa langkah tersebut, IPNU akan menempatkan dirinya sebagai pelopor dan
pendorong masyarakat pembelajar.
* Ketua Umum PP. IPNU 2003-2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar