Hikmah Isra' Mi'raj | |
Sekarang kita telah memasuki separo
lebih bulan rojab dimana pada akhir bulan ini kita sebagai seorang
muslim telah diingatkan kembali sebuah peristiwa besar dalam sejarah
umat islam. Sebuah peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah hidup
(siirah) Rasulullah SAW yaitu peristiwa diperjalankannya beliau (isra)
dari Masjid al Haram di Makkah menuju Masjid al Aqsa di Jerusalem, lalu
dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (mi'raj) dari Qubbah As Sakhrah
menuju ke Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian). Peristiwa ini terjadi
antara 16-12 bulan sebelum Rasulullah SAW diperintahkan untuk melakukan
hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Allah SWT mengisahkan peristiwa agung ini di S. Al Isra (dikenal juga dengan S. Bani Israil) ayat pertama: سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ
آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
Artinya; Maha Suci
Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (potongan) malam
dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat".
Lalu
apa pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan Isra wal Mi'raj ini?
Barangkali catatan ringan berikut dapat memotivasi kita untuk lebih jauh
dan sungguh-sungguh menangkap pelajaran yang seharusnya kita tangkap
dari perjalanan agung tersebut:
Konteks situasi terjadinya
Kita
kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar setahun sebelum Hijrahnya
Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika itu). Ketika itu, Rasulullah
SAW dalam situasi yang sangat "sumpek", seolah tiada celah harapan masa
depan bagi agama ini. Selang beberapa masa sebelumnya, isteri tercinta
Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari penjuangan
meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir Qurays
terhadap perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan
pegangan, kehilangan arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada
jelas.
Dalam sitausi
seperti inilah, rupanya "rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan
dan menundukkan segala sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaei",
demikian Allah deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang
merintih kepedihan, mengenang kegetiran dan kepahitan langkah
perjuangan, tiba-tiba diajak oleh Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk
"berjalan-jalan" (saraa) menelusuri napak tilas "perjuangan" para
pejuang sebelumnya (para nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung
kebesaran singgasana Ilahiyah di "Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah
"penyejuk" yang menyiram keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir.
Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan"
jiwa, mempermantap tekad menyingsingkan lengan baju untuk melangkah
menuju ke depan.
Artinya,
bahwa kita adalah "rasul-rasul" Rasulullah SAW dalam melanjutkan
perjuangan ini. Betapa terkadang, di tengah perjalanan kita temukan
tantangan dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan mengaburkan
pandangan objektif dalam melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau hal
ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan meraih tangan kita,
mengajak kita kepada sebuah "perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu
Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang
betul-betul beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi segala
keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari
penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan kebenaran,
akan diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang
terpenting bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali
mendayung pantang mundur, konsistensi memang harus menjadi karakter
dasar bagi seorang pejuang di jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah"
(jangan sekali-kali berputus asa dari rahmat Allah).
Pensucian Hati
Disebutkan
bahwa sebelum di bawa oleh Jibril, beliau dibaringkan lalu dibelah
dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati
Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah
Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati, atau berbagai
penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba yang
"ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi dari
pensucian hatinya?
Rasulullah
adalah sosok "uswah", pribadi yang hadir di tengah-tengah umat sebagai,
tidak saja "muballigh" (penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan
yang harus menjadi "percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya.
"Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".
Memang
betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah dibersihkan hatinya.
Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan. Perjalanan "suci" yang
seharusnya dibangun dalam suasa "kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga
menuju kepadaNya. Dalam perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau
petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang intinya sebagai "nurani", itulah lentera perjalanan hidup.
Cahaya
ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh
gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa alhamaha fujuuraha). Semakin kuat
gesekan karat, semakin jauh pula dari warna yang sesungguhnya
(taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan kesempatan,
diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh
kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan
bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang
kemudian "penentu" baik atau tidaknya seseorang pemilik hati.
ألا إن في الجسد مضغة، إذا صلحت صلحت سير عمله، وإذا فسدت فسدت سير عمله.
Disebutkan
bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia ibarat kertas putih dengan
tiada noda sedikitpun. Namun karena manusia, setiap kali melakukan
dosa-dosa setiap kali pula terjatuh noda hitam pada hati, yang pada
akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia yang hatinya
hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan noda, maka
akhirnya Allah akan akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik
inilah yang kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka.
"Khatamallahu 'alaa quluubihim".
Di Al Qur'an sendiri, Allah berfirman" قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Artinya: Sungguh
beruntung siapa yang mensucikannya, dan sungguh buntunglah siapa yang
mengotorinya". Maka sungguh perjalanan ini hanya akan bisa menuju
"ilahi" dengan senantiasa membersihkan jiwa dan hati kita, sebagaimana
yang telah dilakukan oleh Rasulullah sebelum perjalanan sucinya
tersebut.
Memilih Susu - Menolak Khamar
Ketika
ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap Rasulullah mengambil gelas
yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan.
Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah
menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat
inteletualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang
tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan
bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah memang melanjutkan
perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang ada dua alternatif di
hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik
dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan kerugian.
Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda kezaliman,
akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak
yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak
senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan
memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.
Dalam
hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada pilihan-pilihan yang
samar. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera
kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh karenanya, jika
kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata kita
seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi
merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah
kita. Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk
mempertajam kembali fitrah Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap
insan.
Imam Shalat Berjama'ah
Shalat
adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim, sekaligus merupakan
simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah
terkumpul berbagai hikmah dan makna. Shalat menjadi simbol ketaatan
total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa menjadi
tujuan hidupnya.
Maka
ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan tidak
tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka
sungguh itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang
ada. Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat
besar pada masanya. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul,
menerima menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela
hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan
"leadership", walau secara senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.
Kempimpinan
dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam
segala skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan
antara kepemimpinan shalat dan kebajikan secara menyeluruh: "Wahai
orang-orang yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta
berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan itu, kamu akan
meraih keberuntungan". Dalam situasi seperti inilah, seorang Muhammad
telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh pemimpin
umat lainnya.
Baghaimana
dengan kita sebagai pengikut nabi muhammad dalam masalah ini?
Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria tersebut.
Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang disebutkan dalam Al Qur'an
masih menjadi "tanda tanya" besar pada kalangan umat ini. "Dan demikian
kami jadikan di antara mereka pemimpin yang mengetahui urusan Kami,
memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka yakin
terhadap ayat-ayat Kami".
Kita
umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat lainnya, ternyata
memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan dunia Islam saat
ini terbalik, bukan dalam shalat berjama'ah, bukan dalam kebaikan dan
kemajuan dalam kehidupan manusia. Namun lebih banyak yang bersifat
negatif.
Kembali ke Bumi dengan Shalat
Perjalanan
singkat yang penuh hikmah tersebut segera berakhir, dan dengan segera
pula beliau kembali menuju alam kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar
bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan Yang Maha Kuasa di
suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan dan
mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab
duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam
itu, harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan
amanah perjuangan yang masih harus diembannya.
Inilah
sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke bumi ini dengan
membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan "dzikir", dan
karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan ayunan langkah
kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya.
"Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak),
pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya"
dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat
5 waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian
perjalanan suci ke atas (Mi'raj).
|
Senin, 11 Juni 2012
Isra' Mi'raj
Senin, 09 April 2012
Refleksi 60 tahun
Kelahiran IPNU
IPNU,
PESANTREN, SEKOLAH DAN
MASYARAKAT PEMBELAJAR
Mujtahidur
Ridho SZ*
Reorientasi dan
reparadigmatisasi gerakan IPNU,
sejak terjadi perubahan
Putra menjadi Pelajar
dalam Kongres di Surabaya, menjadi
keniscayaan. Gerakan IPNU
sekarang berpusat pada
pelajar. Gerakanya-pun seputar
dunia pelajar dengan
basis sosial pelajar
pada dasarnya organisasi kita ini sedang mendayung
perahu peradaban. Untuk
jangka pendek mungkin
hasilnya tidak dapat
dilihat begitu saja. Namun dalam
jangka panjang, buah
gerakan peradaban tersebut
akan menjadi kekuatan
masyarakat signifikan. Sebab dimanapun,
kapanpun, kekuatan masyarakat
terefleksikan dalam kualitas
sumber daya manusia
generasi mudanya.
Di sini, IPNU memiliki
tangung jawab kesejarahan
penting. Bagaimanapun sumber
daya manusia merupakan
kemajuan peradaban masyarakat.
Apalagi jika dilihat
posisi IPNU sebagai
organ yang tidak
dapat dilepaskan dari
IPNU. Sebagaimana diketahui,
IPNU merupakan organisasi
dibawah NU. Kacamata
NU, tugas IPNU adalah
dua hal pokok; melakukan
advokasi kebijakan dibidang
pendidik an, dan mendorong tumbuhnya
intelektual-intelektual muda kritis.
Peran tersebut dapat
disederhanakan sebagai peran
membangun masyarakat pembelajar.
Jika
diidentifikasi, peran
IPNU sebagai pendorong
masyarakat sebagai pembelajar
berada dalam dua
ranah, yakni ranah
struktural dan kultural.
Dua ranah ini
saling sinergis dan
digerakkan secara bersamaan.
Keduanya merupakan manifestasi
atas penerjemahan IPNU
sebagai organisasi adfokasi
kebijakan dan pembentukan
intelektual muda.
Dalam rana
yang pertama, IPNU dituntut kritis
terhadap semua produk
kebijakan pendidikan. Mulai
dari tingkat global,
nasional dan lokal.
Dalam hal ini
semua kader IPNU
seharusnya memiliki kesadaran
kritis terhadap dunia
ini. Pendikan bukanlah
wilayah netral. Dunia
pelajar seperti sekolah
atau universitas menentukan
bangun masyarakat Indonesia
5,10,15 tahun yang
akan datang. Struktur
formasi sosial masyarakat
ke depan dilihat
saat ini. Disini
kita menghadapi paling
tidak dua medan
medan pertarungan.
Yang
pertama adalah pertarungan memenangkan rivalitas dalam merebut kaum muda [ fastabikul-khoirot ]. Sebagai mana
diketahui sebagaimana organisasi
yang bergerak di wilayah
pelajar bukan hanya IPNU, tapi
juga ada IRM, PII, bahkan
organ mahasiswa KAMMI
yang sudah masuk
melalui organisasi Rohis
di sekolah-sekolah favourite.
Pertarungan di wilayah
ini menjadi menarik,
sebab dikemudian hari
menentukan peta masyarakat
ke depan. Jika saat ini masyarakat
NU masih
pinggiran, katakanlah, hanya
menguasai DEPAG, sebab
sampai saat inipun
IPNU-pun hanya bisa
bermain di wilayah
pinggiran. Bahkan di
wilayah maarif, atau
di pesantren yang
memiliki pendidikan formal,
yang merupakan kandang sendiri ,
IPNU belum cukup mampu
berkibar. Ringkasnya, pergulatan
di wi wilayah
ini dapat di
simpulkan ; penguasaan organisasi
kita dibasis pelajar
secara sosiologis menentukan
penguasaan NU terhadap
sumber daya manusia
berkualitas. Jika tetap
dipinggiran, ke depan ya tetap
di pingiran, sekalipun ,
misalnya, secara politik
menguasai parlemen, atau
birokrasi. Berapa sekolah /universitas umum
atau negeri yang
berhasil diorganisir IPNU
merupakan gambaran sejauh
mana kekuatan IPNU
di masyarakat saat ini
dan kekuatan saat
ini dan 10
tahun mendatang.
Pada medan
kedua, pertarungan tersebut
akan menghadap-hadapkan antara
IPNU sebagai representasi
kekuatan masyarakat dengan
negara atau kekuatan
modal. Disini peran kritis IPNU
dalam mendorong kebijakan
publik yang populis
di bidang pendidikan
amat strategis. Mendorong
kebijakan tersebut sama artinya menciptakan masyarakat pembelajar melalui jalur
struktural. Logikanya demikian. Untuk saat ini, menurut data Depdiknas tahun
2000, terdapat paling tidak 7,2 juta anak yang tidak dpat menyelesaikan bangku
sekolah, yang terdiri dari 2,9 juta usia SD, dan 4,3 usia SMP. Pada sisi yang
lainnya, beaya pendidikan semakin lama semakin mahal. Bahkan kian mencekik.
Sementara jumlah masyarakat miskin Indonesia, jika mengacu kepada bank
Dunia, mencapai 110 juta jiwa . Dengan mengasumsikan sebagian besar warga
Nahdliyin adalah kelas menengah kebawah, maka sebagian besar korbannya adalah
juga warga nahdliyin. Disinilah terjadinya kesenjangan antara kekuatan sosial
ekonomi masyarakat dan biaya pendidikan akibat komersialisasi dan larinya
negara dalam menunaikan tugasnya. Nah, jika IPNU berhasil mendorong kembali
kebijakan pendidikan murah untuk rakyat atau bahkan geratis, sekali gerak, IPNU
mampu menciptakan masyarakat pembelajar signifikan. Minimal memperbanyak jumlah
masyarakat yang sekolah. Dengan sekolah berarti menjadi salah satu masyarakat
pembelajar.
Seiring
dengan otonomi daerah, maka sinerginitas gerakannya dilakukan dengan membagi
wilayah gerak. Kebijakan Nasional menjadi tanggung jawab pengurus pusat untuk
mengkritisinya dan mem-break down-nya kebawah. Sedangkan untuk kebijakan lokal
seperti dalam anggaran pendidikan dalam APBD menjadi bagian kerja yang tidak
dapat dilalaikan dari kepengurusan tingkat cabang. Gerakan kritis tersebut
bukan hanya dibidang anggaran, namun juga yang lainnya. Kenyataan menunjukkan,
anggaran pendidikan yang serba kurang masih dikorup dalam ruang lainnya.
Seperti belanja negara dalam bidang pendidikan. Kasus di Ungaran Jawa Tengah
yang menjadikan pengadaan buku sekolah menjadi bancakan eksekutif dan
legislatif merupakan contohnya. Di wilayah non anggaran, IPNU juga harus
memberikan sikap yang kritis terhadap berbagai isu pendidikan seperti
kontrofersi ujian nasional.
Persoalannya
adalah, problem pendidikan, dan dengan demikian problem masyarakat pembelajar,
bukan hanya soal anggaran. Dalam sekolah atau universitas, dipenuhi sekian
problem. Ini tidak lepas dari intervensi berbagai kepentingan dan ideologi
dalam sekolah. Ideologi dan kepentingan modal merupakan yang paling dominan.
Dengan ideologi ini masyarakat pembelajar diproyeksikan untuk menjadi bagian
dari sistem produksi dan konsumsi. Akibatnya, fungsi pembelajaran sebagai
pencerahan dan pembebasan menjadi hilang.
Sekolah
juga menjadi ajang reproduksi kekerasan di masyarakat. Pola pengajaran dan
pembelajaran yang mengedepankan perintah – paksaan mencetak manusia-manusia
robot yang menginternalisir tradisi kekerasan dalam dirinya. Kasus perkelaian
pelajar, penganiayaan atau pembunuhan yang melibatkan siswa, tidak dapat
dilepaskan dari paradigme pendidikan.
Sekolah
kita, mengutip kiosaki, juga bukanlah menjadi ruang pembelajaran yang mampu mengubah
seseorang. Sekolah menciptakan mentalitas budak, mentalitas birokrasi dan gagal
untuk sekedar mendorong manusia untuk bermimpi. Dalam rutinitasnya yang
menjengukkan, sekolah justru menciptakan ketakutan. Sekolah menciptakan
ketakutan orang untuk ketakutan salah, takut mencoba sehingga tidak
transparatif dan kreatif. Out putnya pun jauh dari karakter yang mampu
mendorong perubahan.
Selain
ranah strukturan di atas, peran IPNU juga penting dalam ranah kedua, yakni
kultural. Disini bahkan wilayahnya lebih luas. Mencakup bukan hanya sekolah,
namun juga pesantren, santri dan masyarakat lainnya. Dalam ranah kultural ini
membutuhkan waktu yang amat panjang, dan dengan demikian, kesetiaan permanen
terhadap agenda ini. Tradisi membaca merupakan kultur yang tidak dapat
diciptakan begitu saja. Namun membutuhkan rekayasa kebudayaan panjang.
Mendorong Terwujudnya Masyarakat
Pembelajar
Kepeloporan
IPNU dalam menciptakan masyarakat pembelajar ini dapat dilakukan dengan
beberapa acara. Pertama, memulai dari sendiri. Artinya, pengurus IPNU juga
harus bisa menjadi uswah khasanah, menjadi inspirasi bagi masyarakat, dengan
membuktikan dirinya memiliki prestasi akademik yang membanggakan. Pengurus IPNU
yang memiliki tradisi akademik bagus akan mendorong masyarakat untuk
mencontohnya.
Kedua, menggalang
dana beasiswa, dari masyarakat untuk membiayai pendidikan bagi masyarakat yang
tidak mampu untuk meneruskan pendidikannya baik di Pesantren maupun sekolah.
Potensi untuk ini amat besar. Namun selama ini belum ada konsolidator yang
kredibel, transparan, akuntabel, yang memerankan peran ini di masyarakat
nahdliyin. Kuncinya hanya satu, bagaimana manajemennya cukup dapat dipercaya
oleh masyarakat. Disini ada dua varian yang dapat dilakukan, yakni menggalang
dana dari masyarakat dan menggalang kerjasama dari pemerintah, lembaga donor
atau universitas yang memiliki program bea siswa.
Ketiga,
IPNU secara berkesinambungan menyelenggarakan berbagai kegiatan bernuansa
kependidikan seperti bazar buku. Kegiatan ini menjadi penting bagi daerah yang
jauh dari akses pengetahuan. Dengan menyelenggarakan kegiatan seperti itu akan
mempercepat terciptanya masyarakat pembelajar. Langkah pertama dan utama kalau
kita ingin membuat anak kita keranjingan membaca, kata seorang penulis adalah
dengan menyediakan buku. Kegiatan ini akan mempercepat proses transformasi
kesadaran masyarakat.
Keempat,
melakukan semacam “Intervensi Kultural”
dalam berbagai kegiatan kultural NU yang masih sangat marak seperti Haflah,
tasyakur, haul, atau kegiatan lainnya. Intervensi yang dimaksud adalah
menyisipkan agenda yang mampu meningkatkan kesadaran akan pengetahuan. Seperti
seminar prahaul diikuti gerakan wakaf buku seperti yang sudah dilakukan
pesantren Kesugian – Cilacap – Jateng.
Dengan
beberapa langkah tersebut, IPNU akan menempatkan dirinya sebagai pelopor dan
pendorong masyarakat pembelajar.
* Ketua Umum PP. IPNU 2003-2006
Kamis, 15 Desember 2011
Mewaspadai Gerakan Politik Islam Radikal
Mewaspadai Gerakan Politik Islam Radikal HTI..!!!
Kalimatu l’Haq, uridu biha l’bathil. Kalimatnya benar, tetapi digunakan untuk tujuan yang tidak benar. Pepatah itu mungkin dapat mewakili penjelasan terhadap maraknya fikrah (pemikiran) dan harakah (gerakan) yang mengatasnamakan Islam. Salah satunya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kelompok Islam garis keras yang saat ini sedang mempropagandakan paham ajarannya kepada masyarakat, termasuk warga NU hingga ke desa-desa. Bagaimana gerakan ini muncul dan didirikan? Apa misi yang diembannya, serta apa saja penyimpangan yang harus diwaspadai? Tulisan ini dimaksudkan sebagai pembinaan internal terkait pembentengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terhadap warga dan pengurus Nadhlatul Ulama’.
Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bagian dari jaringan internasional Hizbut Tahrir yang didirikan pada tahun 1953 di Jerussalem. Pendirinya adalah Taqiyuddin Al-Nabhani bersama para koleganya yang merupakan sempalan dari organisasi Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir. Al-Nabhani sendiri adalah lulusan Al-Azhar Mesir yang berprofesi sebagai guru sekolah agama dan hakim. Ia berasal dari Ijzim, Palestina Utara.
Hizbut Tahrir menahbiskan dirinya sebagai partai politik dengan Islam sebagai ideologinya dan kebangkitan bangsa Islam sebagai tujuannya. Meskipun selalu mengusung nama Islam, syari’ah dan dakwah, namun secara tegas, mereka mengatakan bukan sebagai organisasi kerohanian (seperti jam’iyyah thoriqoh), bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan dan bukan pula lembaga social kemasyarakatan (Brosur HTI: Mengenal Gerakan Dakwah Internasional Hizbut Tahrir, DPP HTI, Jakarta, 2007). Hal ini jelas berbeda dengan Nahdlatul Ulama yang ditegaskan sebagai jam’iyyah diniyyah-ijtima’iyyah (organisasi keagamaan-kemasyarakatan) dan bukan organisasi politik.
Sistem keanggotaan merupakan ciri khas dari organisasi ini. Untuk mencapai tujuannya, para pemimpin organisasi ini mengambil bahan-bahan ideologis, yang mengikat anggotanya. Pada pelajar sekolah menengah, mahasiswa, serta para sarjana mendominasi latar belakang anggota organisasi ini. Namun tahun-tahun belakangan, organisasi ini telah menyebarkan target rekrutmen anggota ke masyarakat umum, khususnya pedesaan, termasuk kepada anggota dan warga Nahdlatul Ulama’.
Modus penyebaran dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pengenalan, penyebaran dan pembai’atan (indoktrinasi) ide-ide dan pemikiran Hizbut Tahrir kepada masyarakat umum. Untuk menyebarkan itu, mereka giat mencetak dan menyebarkan media informasi yang dibagikan secara gratis dan berkala sebagaimana Buletin Dakwah Al-Islam yang disebarkan ke masjid-masjid, organisasi keagamaan dan tokoh-tokoh masyarakat. Mereka juga mengadakan kajian (halaqah) di masjid-masjid yang sudah berhasil ‘dikuasai’ dengan menampilkan tema-tema yang sekilas luhur sebagamana Khilafah Islamiyah, Penjajahan Bangsa Melalui Perempuan, dan sebagainya.
Selain itu, mereka aktif merekrut kader-kader militan yang tersebar hingga di kecamatan bahkan desa sebagai ‘agen’ penyebaran ide baik melalui pamflet, bulletin dan majalah maupun penjelasan langsung door to door. Mereka juga memiliki media umum, sebagaimana majalah bulanan Al Wa’ie, hingga situs internet www.hizbut-tahrir.or.id dan www.al-islam.or.id. Dalam media-media mereka, kerap mengusung slogan-slogan indah, sebagaimana dakwah Islam, khilafah Islamiyah, Kembali ke Syari’at Islam dan Menerapkan Islam Secara Menyeluruh (Islam Kaffah). Dengan berbungkus slogan tersebut, ternyata mereka banyak menuai simpati, khususnya dari warga yang tidak teliti melihat gerakan ini.
Gerakan Islam Politik-Radikal
Hizbut Tahrir adalah salah satu di antara paket fikrah (pemikiran) dan harakah (gerakan) Islamiyah mutakhir luar negeri yang masuk ke Indonesia dalam kurun dasa warsa terakhir. Dari gerakannya, jelas sekali mereka muncul dan terbentuk dari situasi politik dan perkembangan Islam di Timur Tengah, khususnya konflik Arab-Israel serta semangat anti Barat dan Amerika. Ketertindasan Islam di daerah konflik timur tengah khususnya di Palestina cukup mendorong mereka untuk membentuk pemerintahan islam internasional, yang sering disebut-disebut dengan istilah Khilafah Internasional. Dengan asumsi tersebut, maka seluruh umat Islam di seluruh dunia harus dimobilisasi untuk mendukung khilafah yang nantinya akan dipimpin oleh khalifah yang akan diangkat sebagai pemimpin Islam.
Mereka menganggap kaum muslimin saat ini hidup di alam darul kufur (Negeri Kafir) hanya karena diterapkannya hukum-hukum Negara yang tidak berdasarkan Islam. Kondisi ini mereka rumuskan dengan cara menganalogkan secara sempit dengan periode Nabi SAW ketika di Makkah. Sebagai contoh, untuk Indonesia, mereka menganggap UUD 1945 dan Pancasila sebagai bagian dari hukum-hukum kufur yang oleh karena itu harus diganti, baik konstitusi dan Dasar Negara maupun pemerintahannya.
Misi inilah yang berlawanan dengan Nahdlatul Ulama’ sebagai jam’iyyah yang telah berhasil mengislamkan Indonesia sejak era walisongo. Dakwah NU lebih mengarah kepada pelaksanaan syari’at Islam bagi warganya dan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Lihat Maklumat Nahdlatul Ulama Keputusan Konferensi Besar NU Tahun 2006). Bahkan melalui Muktamar NU pada tahun 1935 di Banjarmasin, NU telah menyatakan Indonesia (yang waktu itu masih dikuasai oleh penjajahan Belanda) sebagai Darul Islam (Negara yang dihuni oleh ummat Islam) dimana ada kebebasan bagi warganya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan aturan syari’at Islam, tanpa harus mempermasalahkan struktur negara.
Sebaliknya, pandangan radikal Hizbut Tahrir memaksa mereka untuk selalu memandang struktur Negara (politik) sebagai tujuan. untuk merealisasikan misinya, mereka menetapkan tiga tahapan yang bila diamati dapat dikatagorikan sebagai sebuah gerakan kudeta berbungkus Islam terhadap pemerintahan yang sah. Dimulai dengan tahapan pembinaan dan pengkaderan (Marhalah At-Tatsqib) yang diambil dari mereka para simpatisannya, kemudian dilanjutkan tahapan berinteraksi dengan ummat (Marhalah Tafa’ul Ma’al Ummah). Kalau dua tahap itu berhasil mereka lampaui, barulah disiapkan tahapan ketiga, yakni pengambilalihan kekuasaan (kudeta), yang dikemas dalam bahasa Marhalah Istilam Al-Hukm. Jelas sekali, organisasi ini murni organisasi politik yang berorientasi kepada kekuasaan (walaupun dikemas dengan tema khilafah Islamiyah) sehingga tidak dapat disejajarkan dengan jam’iyah diniyyah-ijtima’iyyah sebagaimana Nahdlatul Ulama’.
Penyimpangan Ajaran dan Aqidah
Untuk mendukung misi politiknya, maka Hizbut Tahrir menggunakan pemahaman syar’I yang dapat mendukung membenarkan langkah-langkah politiknya. Salah satunya, mereka selalu mendesak kaum Muslim untuk berijtihad dalam mengkaji syari’at secara terus menerus. Mereka juga meniadakan semua bentuk ijma’ (konsensus) kecuali ijma’ para sahabat Nabi saw, dan menolak illat (alasan rasional) sebagai dasar bagi qiyas (analog).
Publikasi utama organisasi ini antara lain adalah Al-Takattu al-Hizbi (Formasi Partai), Al-Syakhsiyah al-Islamiyah (Cara Hidup Islam), Nidhom al-Islam (Tatanan Islam), Mafahim Hizbu al-Tahrir (Konsep-Konsep Partai/Organisasi Pembebasan Islam), Nidhomu al-Hukmi fi al-Islam (Sistem Pemerintahan Dalam Islam), Nadharat Siyasiyah li Hizbi al-Tahrir (Refleksi-Refleksi Politis Partai Pembebasan Islam), dan Kaifa Hudimat al-Khilafah (Bagaimana Kekhilafahan Dihancurkan).
Menurut kesaksian seorang ulama’ Ahlus sunnah wal jama’ah, yakni Syech Muhamad Abdullah al-Syiby al-Ma’ruf bi al-Habasyi dalam kitabnya Al-’Aroh al-Imaniyah fi Mafasid al-Tahririyah, dikatakan Pendiri organisasi ini telah mengaku sebagai mujtahid mutlak dan melakukan penyelewengan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, serta mengingkari ijma’ di berbagai persoalan pokok agama dan persoalan furu’ agama.
Syech Muhammad juga dapat membuktikan beberapa kebathilan aqidah Hizbut Tahrir dari sisi ajaran dengan mengutip kitab mereka, yakni Kitab Syakhsiyah Islamiyah. Dalam juz l hal 71-72, disebutkan: Dan semua perbuatan manusia ini tidak ada campur tangan qodlo’ (kepastian) Allah. Karena setiap manusia dapat menentukan kemauan dan keinginannya sendiri”. Lebih lanjut pada halaman 74 tertulis: “Maka mengkaitkan pahala atau siksa Allah dengan hidayah atau kesesatan menunjukkan bahwa hidayah atau kesesatan adalah perbuatan manusia sendiri bukan dari Allah swt “.
Pendapat sebagaimana dalam kitab mereka merupakan pendapat kaum Qodariyah. Sementara qadariyah adalah salah satu firqah yang menyimpang dari ajaran Ahlussunnah wal jama’ah, karena bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya beliau berkata: “Sesungguhnya perkataan kaum Qodariyah adalah kufur.” Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Imam Malik bin Anas dan Imam Awza’I: “Sesungguhnya mereka itu diminta untuk bertobat, jika tidak mau maka dibunuh.”
Diriwayatkan dari Ma’mar, dari Thowus, dari ayahnya: Sesungguhnya seorang laki-laki telah berkata kepada Ibnu Abbas: “Banyak orang mengatakan perbuatan buruk bukan dengan qodar (kepastian) Allah swt.” Maka Ibnu Abbas menjawab: “Yang membedakan aku dengan pengikut Qodariyah adalah ayat ini: (sambil membacakan Al Qur’an Surat Al An’am ayat 149, yang artinya) “Katakanlah: Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya”..
Hizbut Tahrir juga tercatat pernah berfatwa tentang pergaulan yang bertentangan dengan konsep makarimal akhlaq. Dalam salah satu edaran fatwanya, tahun 1969 mereka menulis: Tidak haram hukumnya berjalan dengan tujuan akan berzina atau berbuat mesum dengan seseorang. Yang tergolong maksiyat adalah perbuatannya”.
Selanjutnya, dalam edaran fatwa Hizbut Tahrir tertanggal 24 Rabi’ul awal 1390 H, pemimpin mereka menghalalkan berciuman meskipun disertai dengan syahwat. Sementara Dalam edaran fatwa tanggal 8 Muharam 1390 H, ditulis: Dan barang siapa mencium orang yang baru tiba dari bepergian, baik laki-laki atau perempuan, serta tidak untuk bermaksud melakukan tujuan zina, maka hukumnya adalah halal”.
Bukan itu saja, dalam hal penetapan hokum syar’i, mereka cenderung ceroboh dan menganggap enteng. Dalam kitab Al-Tafkir hal. 149, dijelaskan: Sesungguhnya apabila seseorang mampu menggali hukum dari sumbernya, maka telah menjadi mujtahid. Oleh karenaya, maka menggali hokum atau ijtihad dimungkinkan bagi siapapun, dan mudah bagi siapaun, apalagi setelah mempunyai beberapa kitab lughot (tata bahasa arab) dan fiqh Islam”. Perkataan ini mengesankan terbukanya kemungkinan untuk berijtihad meskipun dengan modal pengetahuan yang sedikit.
ikhlas (pemalang ikhlas....heheheee)
AMALAN
ZAHIR ADALAH KERANGKA SEDANGKAN ROHNYA ADALAH IKHLAS YANG TERDAPAT
DENGAN TERSEMBUNYI DALAM AMALAN ITU. Amal lahiriah digambarkan sebagai
batang tubuh dan ikhlas pula digambarkan sebagai nyawa yang menghidupkan
batang tubuh itu. Sekiranya kita kurang mendapat kesan yang baik
daripada latihan kerohanian hendaklah
kita merenung dengan mendalam tubuh amal apakah ia bernyawa atau tidak.
Hikmat 10 ini menghubungkan amal dengan ikhlas. Hikmat 9 yang lalu
telah menghubungkan amal dengan hal. Kedua-dua Kalam Hikmat ini membina
jambatan yang menghubungkan hal dengan ikhlas, kedua-duanya ada kaitan
dengan hati, atau lebih tepat jika dikatakan ikhlas sebagai suasana hati
dan hal sebagai Nur Ilahi yang menyinari hati yang ikhlas. Ikhlas
menjadi persediaan yang penting bagi hati menyambut kedatangan sinaran
Nur Ilahi. Apabila Allah s.w.t berkehendak memperkenalkan Diri-Nya
kepada hamba-Nya maka dipancarkan Nur-Nya kepada hati hamba tersebut.
Nur yang dipancar kepada hati ini dinamakan Nur Sir atau Nur Rahsia
Allah s.w.t. Hati yang diterangi oleh nur akan merasai hal ketuhanan
atau mendapat tanda-tanda tentang Tuhan. Setelah mendapat pertandaan
dari Tuhan maka hati pun mengenal Tuhan. Hati yang memiliki ciri atau
sifat begini dikatakan hati yang mempunyai ikhlas tingkat tertinggi.
Tuhan berfirman bagi menggambarkan ikhlas dan hubungannya dengan
makrifat: Dan sebenarnya perempuan itu telah berkeinginan sangat
kepadanya, dan Yusuf pula (mungkin timbul) keinginannya kepada perempuan
itu kalaulah ia tidak menyedari kenyataan Tuhannya (tentang kejinya
perbuatan zina itu). Demikianlah (takdir Kami), untuk menjauhkan dari
Yusuf perkara-perkara yang tidak baik dan perbuatan yang keji, kerana
sesungguhnya ia dari hamba-hamba Kami yang dibersihkan dari segala dosa.
( Ayat 24 : Surah Yusuf ) Nabi Yusuf a.s adalah hamba Allah s.w.t yang
ikhlas. Hamba yang ikhlas berada dalam pemeliharaan Allah s.w.t.
Apabila dia dirangsang untuk melakukan kejahatan dan kekotoran, Nur
Rahsia Allah s.w.t akan memancar di dalam hatinya sehingga dia
menyaksikan dengan jelas akan tanda-tanda Allah s.w.t dan sekaligus
meleburkan rangsangan jahat tadi. Inilah tingkat ikhlas yang tertinggi
yang dimiliki oleh orang arif dan hampir dengan Allah s.w.t. Mata
hatinya sentiasa memandang kepada Allah s.w.t, tidak pada dirinya dan
perbuatannya. Orang yang berada di dalam makam ikhlas yang tertinggi ini
sentiasa dalam keredaan Allah s.w.t baik semasa beramal ataupun semasa
diam. Allah s.w.t sendiri yang memeliharanya. Allah s.w.t mengajarkan
agar hamba-Nya berhubung dengan-Nya dalam keadaan ikhlas. Dia Yang
Tetap Hidup; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka
sembahlah kamu akan Dia dengan mengikhlaskan amal agama kamu kepada-Nya
semata-mata. Segala puji tertentu bagi Allah, Tuhan yang memelihara dan
mentadbirkan sekalian alam. ( Ayat 65 : Surah al-Mu’min ) Allah s.w.t
jua Yang Hidup. Dia yang memiliki segala kehidupan. Dia jualah Tuhan
sekalian alam. Apa sahaja yang ada dalam alam ini adalah ciptaan-Nya.
Apa sahaja yang hidup adalah diperhidupkan oleh-Nya. Jalan dari Allah
s.w.t adalah nikmat dan kurniaan sementara jalan dari hamba kepada-Nya
pula adalah ikhlas. Hamba dituntut supaya mengikhlaskan segala aspek
kehidupan untuk-Nya. Dalam melaksanakan tuntutan mengikhlaskan kehidupan
untuk Allah s.w.t ini hamba tidak boleh berasa takut dan gentar kepada
sesama makhluk. Oleh itu maka sembahlah kamu akan Allah dengan
mengikhlaskan ibadat kepada-Nya (dan menjauhi bawaan syirik), sekalipun
orang-orang kafir tidak menyukai (amalan yang demikian). ( Ayat 14 :
Surah al-Mu’min ) Allah s.w.t telah menetapkan kod etika kehidupan yang
perlu dijunjung, dihayati, diamalkan, disebarkan dan diperjuangkan oleh
kaum muslimin dengan sepenuh jiwa raga dalam keadaan ikhlas kerana Allah
s.w.t, meskipun ada orang-orang yang tidak suka, orang-orang yang
menghina, orang-orang yang membangkang dan mengadakan perlawanan.
Keikhlasan yang diperjuangkan dalam kehidupan dunia ini akan dibawa
bersama apabila menemui Tuhan kelak. Katakanlah: “Tuhanku menyuruh
berlaku adil (pada segala perkara), dan (menyuruh supaya kamu) hadapkan
muka (dan hati) kamu (kepada Allah) dengan betul pada tiap-tiap kali
mengerjakan sembahyang, dan beribadatlah dengan mengikhlaskan amal agama
kepada-Nya semata-mata; (kerana) sebagaimana Ia telah menjadikan kamu
pada mulanya, (demikian pula) kamu akan kembali (kepada-Nya)”. ( Ayat 29
: Surah al-A’raaf ) Sekali pun sukar mencapai peringkat ikhlas yang
tertinggi namun, haruslah diusahakan agar diperolehi keadaan hati yang
ikhlas dalam segala perbuatan sama ada yang lahir mahu pun yang batin.
Orang yang telah tumbuh di dalam hatinya rasa kasihkan Allah s.w.t akan
berusaha membentuk hati yang ikhlas. Mata hatinya melihat bahawa Allah
jualah Tuhan Yang Maha Agung dan dirinya hanyalah hamba yang hina. Hamba
berkewajipan tunduk, patuh dan taat kepada Tuhannya. Orang yang di
dalam makam ini beramal kerana Allah s.w.t: kerana Allah s.w.t yang
memerintahkan supaya beramal, kerana Allah s.w.t berhak ditaati, kerana
perintah Allah s.w.t wajib dilaksana, semuanya kerana Allah s.w.t tidak
kerana sesuatu yang lain. Golongan ini sudah dapat menawan hawa nafsu
yang rendah dan pesona dunia tetapi dia masih melihat dirinya di samping
Allah s.w.t. Dia masih melihat dirinya yang melakukan amal. Dia gembira
kerana menjadi hamba Allah s.w.t yang beramal kerana Allah s.w.t. Sifat
kemanusiaan biasa masih mempengaruhi hatinya. Setelah kerohaniannya
meningkat hatinya dikuasai sepenuhnya oleh lakuan Allah s.w.t, menjadi
orang arif yang tidak lagi melihat kepada dirinya dan amalnya tetapi
melihat Allah s.w.t, Sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Apa sahaja yang
ada dengannya adalah anugerah Allah s.w.t. Sabar, reda, tawakal dan
ikhlas yang ada dengannya semuanya merupakan anugerah Allah s.w.t, bukan
amal yang lahir dari kekuatan dirinya. Tingkat ikhlas yang paling
rendah ialah apabila amal perbuatan bersih daripada riak yang jelas dan
samar tetapi masih terikat dengan keinginan kepada pahala yang
dijanjikan Allah s.w.t. Ikhlas seperti ini dimiliki oleh orang yang
masih kuat bersandar kepada amal, iaitu hamba yang mentaati Tuannya
kerana mengharapkan upah daripada Tuannya itu. Di bawah daripada
tingkatan ini tidak dinamakan ikhlas lagi. Tanpa ikhlas seseorang
beramal kerana sesuatu muslihat keduniaan, mahu dipuji, mahu menutup
kejahatannya agar orang percaya kepadanya dan bermacam-macam lagi
muslihat yang rendah. Orang dari golongan ini walaupun banyak melakukan
amalan namun, amalan mereka adalah umpama tubuh yang tidak bernyawa,
tidak dapat menolong tuannya dan di hadapan Tuhan nanti akan menjadi
debu yang tidak mensyafaatkan orang yang melakukannya. Setiap orang yang
beriman kepada Allah s.w.t mestilah mengusahakan ikhlas pada amalannya
kerana tanpa ikhlas syiriklah yang menyertai amalan tersebut, sebanyak
ketiadaan ikhlas itu. (Amalkanlah perkara-perkara itu) dengan tulus
ikhlas kepada Allah, serta tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya.
(Ayat 31 : Surah al-Hajj ) “Serta (diwajibkan kepadaku): ‘Hadapkanlah
seluruh dirimu menuju (ke arah mengerjakan perintah-perintah) agama
dengan betul dan ikhlas, dan janganlah engkau menjadi dari orang-orang
musyrik’”. Dan janganlah engkau (wahai Muhammad) menyembah atau memuja
yang lain dari Allah, yang tidak dapat mendatangkan manfaat kepadamu dan
tidak juga dapat mendatangkan mudarat kepadamu. Oleh itu, sekiranya
engkau mengerjakan yang demikian, maka pada saat itu menjadilah engkau
dari orang-orang yang berlaku zalim (terhadap diri sendiri dengan
perbuatan syirik itu). ( Ayat 105 & 106 : Surah Yunus ) Daging dan
darah binatang korban atau hadiah itu tidak sekali-kali akan sampai
kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya ialah amal yang ikhlas yang
berdasarkan takwa dari kamu. (Ayat 37 : Surah al-Hajj ) Allah s.w.t
menyeru sekaligus supaya berbuat ikhlas dan tidak berbuat syirik. Ikhlas
adalah lawan kepada syirik. Jika sesuatu amal itu dilakukan dengan
anggapan bahawa ada makhluk yang berkuasa mendatangkan manfaat atau
mudarat, maka tidak ada ikhlas pada amal tersebut. Bila tidak ada ikhlas
akan adalah syirik iaitu sesuatu atau seseorang yang kepadanya amal itu
ditujukan. Orang yang beramal tanpa ikhlas itu dipanggil orang yang
zalim, walaupun pada zahirnya dia tidak menzalimi sesiapa. Intisari
kepada ikhlas adalah melakukan sesuatu kerana Allah s.w.t semata-mata,
tidak ada kepentingan lain. Kepentingan diri sendiri merupakan musuh
ikhlas yang paling utama. Kepentingan diri lahir daripada nafsu. Nafsu
inginkan kemewahan, keseronokan, kedudukan, kemuliaan, puji-pujian dan
sebagainya. Apa yang lahir daripada nafsu itulah yang sering menghalang
atau merosakkan ikhlas. TANAMKAN WUJUD KAMU DALAM BUMI YANG TERSEMBUNYI
KERANA YANG TUMBUH DARI SESUATU YANG TIDAK DITANAM ITU TIDAK SEMPURNA
HASILNYA. Hikmat yang lalu mengarahkan pandangan kita kepada ikhlas.
Ikhlas menjadi kekuatan yang menghalau syirik Jalan syirik adalah
kepentingan diri sendiri. Oleh itu diri sendiri mesti diperhatikan bagi
mengelakkan berlakunya syirik. Bila kepentingan diri sendiri boleh
ditundukkan baharulah muncul keikhlasan. Dan juga pada diri kamu
sendiri. Maka mengapa kamu tidak mahu melihat serta memikirkan
(dalil-dalil dan bukti itu)? ( Ayat 21 : Surah adz-Dzaariyaat ) Hikmat
11 mengajak kita menyelami persoalan yang lebih halus iaitu hakikat diri
kita sendiri atau kewujudan kita. Kita dijadikan daripada tanah, maka
kembalikan ia (jasad) kepada tanah, iaitu ia (jasad) harus dilayani
sebagai tanah supaya ia tidak mengenakan tipu dayanya. Apabila kita
sudah dapat menyekat pengaruh jasad maka kita hadapi pula roh kita. Roh
datangnya daripada Allah s.w.t, kerana roh adalah urusan Allah s.w.t,
maka kembalikan ia kepada Allah s.w.t. Apabila seseorang hamba itu sudah
tidak terikat lagi dengan jasad dan roh maka jadilah dia bekas yang
sesuai untuk diisi dengan Allah s.w.t. Pada awal perjalanan, seseorang
pengembara kerohanian membawa bersama-samanya sifat-sifat basyariah
serta kesedaran terhadap dirinya dan alam nyata. Dia dikawal oleh
kehendak, pemikiran, cita-cita, angan-angan dan lain-lain. Anasir-anasir
alam seperti galian, tumbuh-tumbuhan dan haiwan turut mempengaruhinya.
Latihan kerohanian menghancurkan sifat-sifat yang keji dan memutuskan
rantaian pengaruh anasir-anasir alam. Jika diperhatikan Kalam-kalam
Hikmat yang lalu dapat dilihat bahawa hijab nafsu dan akal yang
membungkus hati sehingga kebenaran tidak kelihatan. Akal yang ditutupi
oleh kegelapan nafsu, iaitu akal yang tidak menerima pancaran nur,
tunduk kepada perintah nafsu. Nafsu tidak pernah kenyang dan akal
sentiasa ada jawapan dan alasan. Hujah akal menjadi benteng yang kukuh
buat nafsu bersembunyi. Jangan memandang enteng kepada kekuatan nafsu
dalam menguasai akal dan pancaindera. Al-Quran telah memberi peringatan
mengenainya: @Nampakkah (wahai Muhammad) keburukan keadaan orang yang
menjadikan hawa nafsunya: tuhan yang dipuja lagi ditaati? Maka dapatkah
engkau menjadi pengawas yang menjaganya jangan sesat? Atau adakah engkau
menyangka bahawa kebanyakan mereka mendengar atau memahami (apa yang
engkau sampaikan kepada mereka)? Mereka hanyalah seperti binatang
ternak, bahkan (bawaan) mereka lebih sesat lagi. ( Ayat 43 & 44 :
Surah al-Furqaan ) Dan kalau Kami kehendaki nescaya Kami tinggikan
pangkatnya dengan (sebab mengamalkan) ayat-ayat itu. Tetapi ia
bermati-mati cenderung kepada dunia dan menurut hawa nafsunya; maka
bandingannya adalah seperti anjing, jika engkau menghalaunya: ia
menghulurkan lidahnya termengah-mengah, dan jika engkau membiarkannya:
ia juga menghulurkan lidahnya termengah-mengah. Demikianlah bandingan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlan
kisah-kisah itu supaya mereka mahu berfikir. ( Ayat 176 : Surah
al-A’raaf ) Manusia yang menerima ayat-ayat Allah s.w.t yang seharusnya
menjadi mulia telah bertukar menjadi hina kerana mereka memperturutkan
hawa nafsu. Ayat-ayat Allah s.w.t yang diketahuinya memancarkan cahaya
pada hati dan akalnya tetapi kegelapan nafsu membungkus cahaya itu. Di
dalam kegelapan nafsu, akal mengadakan hujah bagi mendustakan ayat-ayat
Allah s.w.t yang dia sendiri mengetahuinya. Allah s.w.t mengadakan
perbandingan yang hina bagi orang yang seperti ini. Mereka adalah umpama
anjing yang tidak boleh berfikir dan tidak bermaruah. Buruk sekali
pandangan Allah s.w.t terhadap orang yang mempertuhankan nafsunya. Nafsu
yang tidak mahu kenyang adalah umpama anjing yang sentiasa menjulurkan
lidahnya, tidak memperdulikan walaupun dihalau berkali-kali. Allah
s.w.t mewahyukan ayat-ayat yang menceritakan tentang kehinaan manusia
yang menerima ayat-ayat-Nya tetapi masih juga memperturutkan hawa nafsu,
supaya cerita yang demikian boleh memberi kesedaran kepada mereka. Jika
mereka kembali sedar, mereka akan keluar daripada kegelapan nafsu.
Berpandukan ayat-ayat Allah s.w.t yang sudah mereka ketahui mereka akan
temui jalan yang benar. Ayat-ayat yang diturunkan Allah s.w.t memberi
pengertian kepada Rasulullah s.a.w bahawa cendikiawan Arab yang
menentang baginda s.a.w berbuat demikian bukan kerana tidak dapat
melihat kebenaran yang baginda s.a.w bawa, tetapi mereka dikuasai oleh
hawa nafsu. Cahaya kebenaran yang menyala dilubuk hati ditutupi oleh
kegelapan nafsu. Orang yang telah menerima cahaya kebenaran tetapi
mendustakannya itulah yang diberi perumpamaan yang hina oleh Allah
s.w.t. Menurut cerita daripada Ibnu Abbas, pada zaman Nabi Musa a.s
ada seorang alim bernama Bal’am bin Ba’ura. Allah s.w.t telah
mengurniakan kepada Bal’am rahsia khasiat-khasiat nama-nama Allah Yang
Maha Besar. Nabi Musa a.s dan kaum Bani Israil, setelah selamat daripada
Firaun, sampai hampir dengan negeri tempat tinggal Bal’am. Raja negeri
tersebut ketakutan, takut kalau-kalau negerinya diserang oleh kaum yang
telah berjaya menewaskan Firaun. Setelah bermesyuarat dengan
penasihat-penasihatnya Raja tersebut memutuskan untuk meminta
pertolongan Bal’am agar Bal’am menggunakan ilmunya untuk mengalahkan
Nabi Musa a.s. Bal’am yang pada mulanya enggan berbuat demikian tetapi
akhirnya bersetuju juga setelah isteri kecintaannya menerima sogokan
daripada Raja. Bal’am dengan kekuatan ilmunya dan kemujaraban doanya
telah mengenakan sekatan kepada Nabi Musa a.s. Menurut cerita, doa dan
perbuatan Bal’am dimakbulkan Allah s.w.t dan ia menjadi sebab kaum Nabi
Musa terperangkap di Padang Teh beberapa tahun lamanya. Apabila Nabi
Musa a.s mendoakan agar kaumnya dilepaskan daripada sekatan tersebut,
Allah s.w.t memakbulkan doa tersebut dan pada masa yang sama laknat
turun kepada Bal’am. Sebahagian orang menganggap cerita di atas
sebagai cerita Israiliat. Rasulullah s.a.w menentukan dasar bahawa
cerita ahlul kitab tidak dibenarkan dan tidak didustakan. Cerita
tersebut dibawa sekadar menunjukkan sejauh mana kekuatan nafsu menutup
pandangan hati sehingga Bal’am sanggup menentang Nabi Musa a.s walaupun
dia mengetahui kebenarannya, sebagaimana cendikiawan Arab menentang
Rasulullah s.a.w sekalipun hati kecil mereka menerima kebenaran baginda
s.a.w. Menundukkan nafsu bukanlah pekerjaan yang mudah. Seseorang itu
perlu kembali kepada hatinya, bukan akalnya. Hati tidak akan berbohong
dengan diri sendiri sekalipun akal menutupi kebenaran atas perintah
nafsu. Kekuatan hati adalah ikhlas. Maksud ikhlas yang sebenarnya
adalah: Katakanlah: “Sesungguhnya sembahyangku dan ibadatku, hidupku
dan matiku, hanyalah untuk Allah Tuhan yang memelihara dan mentadbirkan
sekalian alam”. ( Ayat 162 : Surah al-An’aam ) Dalam ikhlas tidak ada
kepentingan diri. Semuanya kerana Allah s.w.t. Selagi kepentingan diri
tidak ditanam dalam bumi selagi itu ikhlas tidak tumbuh dengan baik. Ia
menjadi sempurna apabila wujud diri itu sendiri ditanamkan. Bumi tempat
menanamnya adalah bumi yang tersembunyi, jauh daripada perhatian manusia
lain. Ia adalah umpama kubur yang tidak bertanda.
Langganan:
Postingan (Atom)