Senin, 11 Juni 2012

Isra' Mi'raj



Hikmah Isra' Mi'raj

Sekarang kita telah memasuki separo lebih bulan rojab dimana pada akhir bulan ini kita sebagai seorang muslim telah diingatkan kembali sebuah peristiwa besar dalam sejarah umat islam. Sebuah peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah hidup (siirah) Rasulullah SAW yaitu peristiwa diperjalankannya beliau (isra) dari Masjid al Haram di Makkah menuju Masjid al Aqsa di Jerusalem, lalu dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (mi'raj) dari Qubbah As Sakhrah menuju ke Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian). Peristiwa ini terjadi antara 16-12 bulan sebelum Rasulullah SAW diperintahkan untuk melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Allah SWT mengisahkan peristiwa agung ini di S. Al Isra (dikenal juga dengan S. Bani Israil) ayat pertama:  سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
Artinya; Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat".
Lalu apa pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan Isra wal Mi'raj ini? Barangkali catatan ringan berikut dapat memotivasi kita untuk lebih jauh dan sungguh-sungguh menangkap pelajaran yang seharusnya kita tangkap dari perjalanan agung tersebut:

Konteks situasi terjadinya

Kita kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika itu). Ketika itu, Rasulullah SAW dalam situasi yang sangat "sumpek", seolah tiada celah harapan masa depan bagi agama ini. Selang beberapa masa sebelumnya, isteri tercinta Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari penjuangan meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir Qurays terhadap perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan pegangan, kehilangan arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.
Dalam sitausi seperti inilah, rupanya "rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaei", demikian Allah deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang merintih kepedihan, mengenang kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa) menelusuri napak tilas "perjuangan" para pejuang sebelumnya (para nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di "Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah "penyejuk" yang menyiram keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke depan.
Artinya, bahwa kita adalah "rasul-rasul" Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan ini. Betapa terkadang, di tengah perjalanan kita temukan tantangan dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan mengaburkan pandangan objektif dalam melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau hal ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan meraih tangan kita, mengajak kita kepada sebuah "perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang betul-betul beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi segala keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan kebenaran, akan diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang terpenting bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung pantang mundur, konsistensi memang harus menjadi karakter dasar bagi seorang pejuang di jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah" (jangan sekali-kali berputus asa dari rahmat Allah).

Pensucian Hati

Disebutkan bahwa sebelum di bawa oleh Jibril, beliau dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati, atau berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba yang "ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi dari pensucian hatinya?
Rasulullah adalah sosok "uswah", pribadi yang hadir di tengah-tengah umat sebagai, tidak saja "muballigh" (penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan yang harus menjadi "percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya. "Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".
Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan. Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam suasa "kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang intinya sebagai "nurani", itulah lentera perjalanan hidup.
Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula dari warna yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan kesempatan, diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian "penentu" baik atau tidaknya seseorang pemilik hati.
ألا إن في الجسد مضغة، إذا صلحت صلحت سير عمله، وإذا فسدت فسدت سير عمله.
Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun karena manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula terjatuh noda hitam pada hati, yang pada akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia yang hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan noda, maka akhirnya Allah akan akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik inilah yang kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka. "Khatamallahu 'alaa quluubihim".
Di Al Qur'an sendiri, Allah berfirman"  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Artinya: Sungguh beruntung siapa yang mensucikannya, dan sungguh buntunglah siapa yang mengotorinya". Maka sungguh perjalanan ini hanya akan bisa menuju "ilahi" dengan senantiasa membersihkan jiwa dan hati kita, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah sebelum perjalanan sucinya tersebut.

Memilih Susu - Menolak Khamar

Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap Rasulullah mengambil gelas yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan. Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat inteletualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah memang melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang ada dua alternatif di hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan kerugian. Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.
Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada pilihan-pilihan yang samar. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh karenanya, jika kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata kita seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah kita. Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk mempertajam kembali fitrah Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap insan.

Imam Shalat Berjama'ah

Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim, sekaligus merupakan simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah terkumpul berbagai hikmah dan makna. Shalat menjadi simbol ketaatan total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa menjadi tujuan hidupnya.
Maka ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan tidak tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka sungguh itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada. Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat besar pada masanya. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul, menerima menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan "leadership", walau secara senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.
Kempimpinan dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam segala skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan antara kepemimpinan shalat dan kebajikan secara menyeluruh: "Wahai orang-orang yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan itu, kamu akan meraih keberuntungan". Dalam situasi seperti inilah, seorang Muhammad telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh pemimpin umat lainnya.
Baghaimana dengan kita sebagai pengikut nabi muhammad dalam masalah ini? Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria tersebut. Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang disebutkan dalam Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar pada kalangan umat ini. "Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin yang mengetahui urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka yakin terhadap ayat-ayat Kami".
Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat lainnya, ternyata memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan dunia Islam saat ini terbalik, bukan dalam shalat berjama'ah, bukan dalam kebaikan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Namun lebih banyak yang bersifat negatif.

Kembali ke Bumi dengan Shalat

Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut segera berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam itu, harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan yang masih harus diembannya.
Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan "dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan ayunan langkah kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya. "Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak), pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya" dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5 waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan suci ke atas (Mi'raj). 

Senin, 09 April 2012


Refleksi 60 tahun Kelahiran IPNU

IPNU, PESANTREN, SEKOLAH DAN 
MASYARAKAT  PEMBELAJAR


 

Mujtahidur Ridho SZ*


 

         
Reorientasi  dan  reparadigmatisasi  gerakan  IPNU,  sejak  terjadi  perubahan  Putra  menjadi  Pelajar  dalam  Kongres  di  Surabaya,  menjadi  keniscayaan.  Gerakan  IPNU  sekarang  berpusat  pada  pelajar.  Gerakanya-pun  seputar  dunia  pelajar   dengan  basis  sosial  pelajar  pada  dasarnya  organisasi kita  ini  sedang  mendayung  perahu  peradaban.  Untuk  jangka  pendek  mungkin  hasilnya  tidak  dapat  dilihat  begitu  saja.  Namun  dalam  jangka  panjang,  buah  gerakan  peradaban  tersebut  akan  menjadi  kekuatan  masyarakat  signifikan. Sebab  dimanapun,  kapanpun,  kekuatan  masyarakat  terefleksikan  dalam  kualitas  sumber  daya  manusia  generasi  mudanya.
Di  sini,  IPNU  memiliki  tangung  jawab  kesejarahan  penting.  Bagaimanapun  sumber  daya  manusia  merupakan  kemajuan  peradaban  masyarakat.  Apalagi  jika  dilihat  posisi  IPNU  sebagai  organ  yang  tidak  dapat  dilepaskan  dari  IPNU.  Sebagaimana  diketahui,  IPNU  merupakan  organisasi  dibawah  NU.  Kacamata  NU,  tugas IPNU  adalah  dua  hal pokok;  melakukan  advokasi  kebijakan  dibidang  pendidik an,  dan mendorong  tumbuhnya  intelektual-intelektual  muda  kritis.  Peran  tersebut  dapat  disederhanakan  sebagai  peran  membangun  masyarakat  pembelajar.
Jika  diidentifikasi,  peran  IPNU  sebagai  pendorong  masyarakat  sebagai  pembelajar  berada  dalam  dua  ranah,  yakni  ranah  struktural  dan  kultural.  Dua  ranah  ini  saling  sinergis  dan  digerakkan  secara  bersamaan.  Keduanya  merupakan  manifestasi  atas  penerjemahan  IPNU  sebagai  organisasi  adfokasi  kebijakan  dan  pembentukan  intelektual  muda.
Dalam  rana  yang  pertama,  IPNU  dituntut  kritis  terhadap  semua  produk  kebijakan  pendidikan.  Mulai  dari  tingkat  global,  nasional  dan  lokal.  Dalam  hal  ini  semua  kader  IPNU  seharusnya  memiliki  kesadaran  kritis  terhadap  dunia  ini.  Pendikan  bukanlah  wilayah  netral.  Dunia  pelajar  seperti  sekolah  atau  universitas  menentukan  bangun  masyarakat  Indonesia  5,10,15  tahun  yang  akan  datang.  Struktur  formasi  sosial  masyarakat  ke  depan  dilihat  saat  ini.  Disini  kita  menghadapi  paling  tidak  dua  medan  medan  pertarungan.
Yang pertama adalah pertarungan memenangkan rivalitas dalam merebut  kaum muda [ fastabikul-khoirot ]. Sebagai  mana  diketahui  sebagaimana  organisasi  yang  bergerak di  wilayah  pelajar bukan  hanya IPNU,  tapi  juga  ada  IRM,  PII,  bahkan  organ  mahasiswa  KAMMI  yang  sudah  masuk  melalui  organisasi  Rohis  di  sekolah-sekolah  favourite.  Pertarungan  di  wilayah  ini  menjadi  menarik,  sebab  dikemudian  hari  menentukan  peta  masyarakat  ke  depan. Jika saat ini masyarakat NU  masih  pinggiran,  katakanlah,  hanya  menguasai  DEPAG,  sebab  sampai  saat  inipun  IPNU-pun  hanya  bisa  bermain  di  wilayah  pinggiran.  Bahkan  di  wilayah  maarif,  atau  di  pesantren  yang  memiliki  pendidikan  formal,  yang  merupakan  kandang  sendiri ,  IPNU  belum  cukup mampu  berkibar.  Ringkasnya,  pergulatan  di  wi  wilayah  ini  dapat  di  simpulkan ;  penguasaan  organisasi  kita  dibasis  pelajar  secara  sosiologis  menentukan  penguasaan  NU  terhadap  sumber  daya  manusia  berkualitas.  Jika  tetap  dipinggiran,  ke  depan  ya  tetap  di  pingiran,  sekalipun ,  misalnya,  secara  politik  menguasai  parlemen,  atau  birokrasi.  Berapa  sekolah /universitas  umum  atau  negeri  yang  berhasil  diorganisir  IPNU  merupakan  gambaran  sejauh  mana  kekuatan  IPNU  di masyarakat   saat  ini  dan  kekuatan  saat  ini  dan  10  tahun  mendatang.
Pada  medan  kedua,  pertarungan  tersebut  akan  menghadap-hadapkan  antara  IPNU  sebagai  representasi  kekuatan  masyarakat  dengan  negara  atau  kekuatan  modal.  Disini  peran  kritis  IPNU  dalam  mendorong  kebijakan  publik  yang  populis  di  bidang  pendidikan  amat  strategis. Mendorong kebijakan tersebut sama artinya menciptakan masyarakat pembelajar melalui jalur struktural. Logikanya demikian. Untuk saat ini, menurut data Depdiknas tahun 2000, terdapat paling tidak 7,2 juta anak yang tidak dpat menyelesaikan bangku sekolah, yang terdiri dari 2,9 juta usia SD, dan 4,3 usia SMP. Pada sisi yang lainnya, beaya pendidikan semakin lama semakin mahal. Bahkan kian mencekik. Sementara jumlah masyarakat miskin Indonesia, jika mengacu kepada bank Dunia, mencapai 110 juta jiwa . Dengan mengasumsikan sebagian besar warga Nahdliyin adalah kelas menengah kebawah, maka sebagian besar korbannya adalah juga warga nahdliyin. Disinilah terjadinya kesenjangan antara kekuatan sosial ekonomi masyarakat dan biaya pendidikan akibat komersialisasi dan larinya negara dalam menunaikan tugasnya. Nah, jika IPNU berhasil mendorong kembali kebijakan pendidikan murah untuk rakyat atau bahkan geratis, sekali gerak, IPNU mampu menciptakan masyarakat pembelajar signifikan. Minimal memperbanyak jumlah masyarakat yang sekolah. Dengan sekolah berarti menjadi salah satu masyarakat pembelajar.
Seiring dengan otonomi daerah, maka sinerginitas gerakannya dilakukan dengan membagi wilayah gerak. Kebijakan Nasional menjadi tanggung jawab pengurus pusat untuk mengkritisinya dan mem-break down-nya kebawah. Sedangkan untuk kebijakan lokal seperti dalam anggaran pendidikan dalam APBD menjadi bagian kerja yang tidak dapat dilalaikan dari kepengurusan tingkat cabang. Gerakan kritis tersebut bukan hanya dibidang anggaran, namun juga yang lainnya. Kenyataan menunjukkan, anggaran pendidikan yang serba kurang masih dikorup dalam ruang lainnya. Seperti belanja negara dalam bidang pendidikan. Kasus di Ungaran Jawa Tengah yang menjadikan pengadaan buku sekolah menjadi bancakan eksekutif dan legislatif merupakan contohnya. Di wilayah non anggaran, IPNU juga harus memberikan sikap yang kritis terhadap berbagai isu pendidikan seperti kontrofersi ujian nasional.
Persoalannya adalah, problem pendidikan, dan dengan demikian problem masyarakat pembelajar, bukan hanya soal anggaran. Dalam sekolah atau universitas, dipenuhi sekian problem. Ini tidak lepas dari intervensi berbagai kepentingan dan ideologi dalam sekolah. Ideologi dan kepentingan modal merupakan yang paling dominan. Dengan ideologi ini masyarakat pembelajar diproyeksikan untuk menjadi bagian dari sistem produksi dan konsumsi. Akibatnya, fungsi pembelajaran sebagai pencerahan dan pembebasan menjadi hilang.
Sekolah juga menjadi ajang reproduksi kekerasan di masyarakat. Pola pengajaran dan pembelajaran yang mengedepankan perintah – paksaan mencetak manusia-manusia robot yang menginternalisir tradisi kekerasan dalam dirinya. Kasus perkelaian pelajar, penganiayaan atau pembunuhan yang melibatkan siswa, tidak dapat dilepaskan dari paradigme pendidikan.
Sekolah kita, mengutip kiosaki, juga bukanlah menjadi ruang pembelajaran yang mampu mengubah seseorang. Sekolah menciptakan mentalitas budak, mentalitas birokrasi dan gagal untuk sekedar mendorong manusia untuk bermimpi. Dalam rutinitasnya yang menjengukkan, sekolah justru menciptakan ketakutan. Sekolah menciptakan ketakutan orang untuk ketakutan salah, takut mencoba sehingga tidak transparatif dan kreatif. Out putnya pun jauh dari karakter yang mampu mendorong perubahan.
Selain ranah strukturan di atas, peran IPNU juga penting dalam ranah kedua, yakni kultural. Disini bahkan wilayahnya lebih luas. Mencakup bukan hanya sekolah, namun juga pesantren, santri dan masyarakat lainnya. Dalam ranah kultural ini membutuhkan waktu yang amat panjang, dan dengan demikian, kesetiaan permanen terhadap agenda ini. Tradisi membaca merupakan kultur yang tidak dapat diciptakan begitu saja. Namun membutuhkan rekayasa kebudayaan panjang.

Mendorong Terwujudnya Masyarakat Pembelajar

Kepeloporan IPNU dalam menciptakan masyarakat pembelajar ini dapat dilakukan dengan beberapa acara. Pertama, memulai dari sendiri. Artinya, pengurus IPNU juga harus bisa menjadi uswah khasanah, menjadi inspirasi bagi masyarakat, dengan membuktikan dirinya memiliki prestasi akademik yang membanggakan. Pengurus IPNU yang memiliki tradisi akademik bagus akan mendorong masyarakat untuk mencontohnya.
Kedua, menggalang dana beasiswa, dari masyarakat untuk membiayai pendidikan bagi masyarakat yang tidak mampu untuk meneruskan pendidikannya baik di Pesantren maupun sekolah. Potensi untuk ini amat besar. Namun selama ini belum ada konsolidator yang kredibel, transparan, akuntabel, yang memerankan peran ini di masyarakat nahdliyin. Kuncinya hanya satu, bagaimana manajemennya cukup dapat dipercaya oleh masyarakat. Disini ada dua varian yang dapat dilakukan, yakni menggalang dana dari masyarakat dan menggalang kerjasama dari pemerintah, lembaga donor atau universitas yang memiliki program bea siswa.
Ketiga, IPNU secara berkesinambungan menyelenggarakan berbagai kegiatan bernuansa kependidikan seperti bazar buku. Kegiatan ini menjadi penting bagi daerah yang jauh dari akses pengetahuan. Dengan menyelenggarakan kegiatan seperti itu akan mempercepat terciptanya masyarakat pembelajar. Langkah pertama dan utama kalau kita ingin membuat anak kita keranjingan membaca, kata seorang penulis adalah dengan menyediakan buku. Kegiatan ini akan mempercepat proses transformasi kesadaran masyarakat.
Keempat, melakukan semacam “Intervensi Kultural” dalam berbagai kegiatan kultural NU yang masih sangat marak seperti Haflah, tasyakur, haul, atau kegiatan lainnya. Intervensi yang dimaksud adalah menyisipkan agenda yang mampu meningkatkan kesadaran akan pengetahuan. Seperti seminar prahaul diikuti gerakan wakaf buku seperti yang sudah dilakukan pesantren Kesugian – Cilacap – Jateng.
Dengan beberapa langkah tersebut, IPNU akan menempatkan dirinya sebagai pelopor dan pendorong masyarakat pembelajar.


* Ketua Umum PP. IPNU 2003-2006

Kamis, 15 Desember 2011

Mewaspadai Gerakan Politik Islam Radikal

Mewaspadai Gerakan Politik Islam Radikal HTI..!!!

 

Kalimatu l’Haq, uridu biha l’bathil. Kalimatnya benar, tetapi digunakan untuk tujuan yang tidak benar. Pepatah itu mungkin dapat mewakili penjelasan terhadap maraknya fikrah (pemikiran) dan harakah (gerakan) yang mengatasnamakan Islam. Salah satunya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kelompok Islam garis keras yang saat ini sedang mempropagandakan paham ajarannya kepada masyarakat, termasuk warga NU hingga ke desa-desa. Bagaimana gerakan ini muncul dan didirikan? Apa misi yang diembannya, serta apa saja penyimpangan yang harus diwaspadai? Tulisan ini dimaksudkan sebagai pembinaan internal terkait pembentengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terhadap warga dan pengurus Nadhlatul Ulama’.


Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bagian dari jaringan internasional Hizbut Tahrir yang didirikan pada tahun 1953 di Jerussalem. Pendirinya adalah Taqiyuddin Al-Nabhani bersama para koleganya yang merupakan sempalan dari organisasi Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir. Al-Nabhani sendiri adalah lulusan Al-Azhar Mesir yang berprofesi sebagai guru sekolah agama dan hakim. Ia berasal dari Ijzim, Palestina Utara.

Hizbut Tahrir menahbiskan dirinya sebagai partai politik dengan Islam sebagai ideologinya dan kebangkitan bangsa Islam sebagai tujuannya. Meskipun selalu mengusung nama Islam, syari’ah dan dakwah, namun secara tegas, mereka mengatakan bukan sebagai organisasi kerohanian (seperti jam’iyyah thoriqoh), bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan dan bukan pula lembaga social kemasyarakatan (Brosur HTI: Mengenal Gerakan Dakwah Internasional Hizbut Tahrir, DPP HTI, Jakarta, 2007). Hal ini jelas berbeda dengan Nahdlatul Ulama yang ditegaskan sebagai jam’iyyah diniyyah-ijtima’iyyah (organisasi keagamaan-kemasyarakatan) dan bukan organisasi politik.

Sistem keanggotaan merupakan ciri khas dari organisasi ini. Untuk mencapai tujuannya, para pemimpin organisasi ini mengambil bahan-bahan ideologis, yang mengikat anggotanya. Pada pelajar sekolah menengah, mahasiswa, serta para sarjana mendominasi latar belakang anggota organisasi ini. Namun tahun-tahun belakangan, organisasi ini telah menyebarkan target rekrutmen anggota ke masyarakat umum, khususnya pedesaan, termasuk kepada anggota dan warga Nahdlatul Ulama’.
Modus penyebaran dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pengenalan, penyebaran dan pembai’atan (indoktrinasi) ide-ide dan pemikiran Hizbut Tahrir kepada masyarakat umum. Untuk menyebarkan itu, mereka giat mencetak dan menyebarkan media informasi yang dibagikan secara gratis dan berkala sebagaimana Buletin Dakwah Al-Islam yang disebarkan ke masjid-masjid, organisasi keagamaan dan tokoh-tokoh masyarakat. Mereka juga mengadakan kajian (halaqah) di masjid-masjid yang sudah berhasil ‘dikuasai’ dengan menampilkan tema-tema yang sekilas luhur sebagamana Khilafah Islamiyah, Penjajahan Bangsa Melalui Perempuan, dan sebagainya.

Selain itu, mereka aktif merekrut kader-kader militan yang tersebar hingga di kecamatan bahkan desa sebagai ‘agen’ penyebaran ide baik melalui pamflet, bulletin dan majalah maupun penjelasan langsung door to door. Mereka juga memiliki media umum, sebagaimana majalah bulanan Al Wa’ie, hingga situs internet www.hizbut-tahrir.or.id dan www.al-islam.or.id. Dalam media-media mereka, kerap mengusung slogan-slogan indah, sebagaimana dakwah Islam, khilafah Islamiyah, Kembali ke Syari’at Islam dan Menerapkan Islam Secara Menyeluruh (Islam Kaffah). Dengan berbungkus slogan tersebut, ternyata mereka banyak menuai simpati, khususnya dari warga yang tidak teliti melihat gerakan ini.

Gerakan Islam Politik-Radikal
Hizbut Tahrir adalah salah satu di antara paket fikrah (pemikiran) dan harakah (gerakan) Islamiyah mutakhir luar negeri yang masuk ke Indonesia dalam kurun dasa warsa terakhir. Dari gerakannya, jelas sekali mereka muncul dan terbentuk dari situasi politik dan perkembangan Islam di Timur Tengah, khususnya konflik Arab-Israel serta semangat anti Barat dan Amerika. Ketertindasan Islam di daerah konflik timur tengah khususnya di Palestina cukup mendorong mereka untuk membentuk pemerintahan islam internasional, yang sering disebut-disebut dengan istilah Khilafah Internasional. Dengan asumsi tersebut, maka seluruh umat Islam di seluruh dunia harus dimobilisasi untuk mendukung khilafah yang nantinya akan dipimpin oleh khalifah yang akan diangkat sebagai pemimpin Islam.

Mereka menganggap kaum muslimin saat ini hidup di alam darul kufur (Negeri Kafir) hanya karena diterapkannya hukum-hukum Negara yang tidak berdasarkan Islam. Kondisi ini mereka rumuskan dengan cara menganalogkan secara sempit dengan periode Nabi SAW ketika di Makkah. Sebagai contoh, untuk Indonesia, mereka menganggap UUD 1945 dan Pancasila sebagai bagian dari hukum-hukum kufur yang oleh karena itu harus diganti, baik konstitusi dan Dasar Negara maupun pemerintahannya.

Misi inilah yang berlawanan dengan Nahdlatul Ulama’ sebagai jam’iyyah yang telah berhasil mengislamkan Indonesia sejak era walisongo. Dakwah NU lebih mengarah kepada pelaksanaan syari’at Islam bagi warganya dan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Lihat Maklumat Nahdlatul Ulama Keputusan Konferensi Besar NU Tahun 2006). Bahkan melalui Muktamar NU pada tahun 1935 di Banjarmasin, NU telah menyatakan Indonesia (yang waktu itu masih dikuasai oleh penjajahan Belanda) sebagai Darul Islam (Negara yang dihuni oleh ummat Islam) dimana ada kebebasan bagi warganya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan aturan syari’at Islam, tanpa harus mempermasalahkan struktur negara.

Sebaliknya, pandangan radikal Hizbut Tahrir memaksa mereka untuk selalu memandang struktur Negara (politik) sebagai tujuan. untuk merealisasikan misinya, mereka menetapkan tiga tahapan yang bila diamati dapat dikatagorikan sebagai sebuah gerakan kudeta berbungkus Islam terhadap pemerintahan yang sah. Dimulai dengan tahapan pembinaan dan pengkaderan (Marhalah At-Tatsqib) yang diambil dari mereka para simpatisannya, kemudian dilanjutkan tahapan berinteraksi dengan ummat (Marhalah Tafa’ul Ma’al Ummah). Kalau dua tahap itu berhasil mereka lampaui, barulah disiapkan tahapan ketiga, yakni pengambilalihan kekuasaan (kudeta), yang dikemas dalam bahasa Marhalah Istilam Al-Hukm. Jelas sekali, organisasi ini murni organisasi politik yang berorientasi kepada kekuasaan (walaupun dikemas dengan tema khilafah Islamiyah) sehingga tidak dapat disejajarkan dengan jam’iyah diniyyah-ijtima’iyyah sebagaimana Nahdlatul Ulama’.

Penyimpangan Ajaran dan Aqidah
Untuk mendukung misi politiknya, maka Hizbut Tahrir menggunakan pemahaman syar’I yang dapat mendukung membenarkan langkah-langkah politiknya. Salah satunya, mereka selalu mendesak kaum Muslim untuk berijtihad dalam mengkaji syari’at secara terus menerus. Mereka juga meniadakan semua bentuk ijma’ (konsensus) kecuali ijma’ para sahabat Nabi saw, dan menolak illat (alasan rasional) sebagai dasar bagi qiyas (analog).

Publikasi utama organisasi ini antara lain adalah Al-Takattu al-Hizbi (Formasi Partai), Al-Syakhsiyah al-Islamiyah (Cara Hidup Islam), Nidhom al-Islam (Tatanan Islam), Mafahim Hizbu al-Tahrir (Konsep-Konsep Partai/Organisasi Pembebasan Islam), Nidhomu al-Hukmi fi al-Islam (Sistem Pemerintahan Dalam Islam), Nadharat Siyasiyah li Hizbi al-Tahrir (Refleksi-Refleksi Politis Partai Pembebasan Islam), dan Kaifa Hudimat al-Khilafah (Bagaimana Kekhilafahan Dihancurkan).
Menurut kesaksian seorang ulama’ Ahlus sunnah wal jama’ah, yakni Syech Muhamad Abdullah al-Syiby al-Ma’ruf bi al-Habasyi dalam kitabnya Al-’Aroh al-Imaniyah fi Mafasid al-Tahririyah, dikatakan Pendiri organisasi ini telah mengaku sebagai mujtahid mutlak dan melakukan penyelewengan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, serta mengingkari ijma’ di berbagai persoalan pokok agama dan persoalan furu’ agama.

Syech Muhammad juga dapat membuktikan beberapa kebathilan aqidah Hizbut Tahrir dari sisi ajaran dengan mengutip kitab mereka, yakni Kitab Syakhsiyah Islamiyah. Dalam juz l hal 71-72, disebutkan: Dan semua perbuatan manusia ini tidak ada campur tangan qodlo’ (kepastian) Allah. Karena setiap manusia dapat menentukan kemauan dan keinginannya sendiri”. Lebih lanjut pada halaman 74 tertulis: “Maka mengkaitkan pahala atau siksa Allah dengan hidayah atau kesesatan menunjukkan bahwa hidayah atau kesesatan adalah perbuatan manusia sendiri bukan dari Allah swt “.
Pendapat sebagaimana dalam kitab mereka merupakan pendapat kaum Qodariyah. Sementara qadariyah adalah salah satu firqah yang menyimpang dari ajaran Ahlussunnah wal jama’ah, karena bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya beliau berkata: “Sesungguhnya perkataan kaum Qodariyah adalah kufur.” Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Imam Malik bin Anas dan Imam Awza’I: “Sesungguhnya mereka itu diminta untuk bertobat, jika tidak mau maka dibunuh.”

Diriwayatkan dari Ma’mar, dari Thowus, dari ayahnya: Sesungguhnya seorang laki-laki telah berkata kepada Ibnu Abbas: “Banyak orang mengatakan perbuatan buruk bukan dengan qodar (kepastian) Allah swt.” Maka Ibnu Abbas menjawab: “Yang membedakan aku dengan pengikut Qodariyah adalah ayat ini: (sambil membacakan Al Qur’an Surat Al An’am ayat 149, yang artinya) “Katakanlah: Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya”..

Hizbut Tahrir juga tercatat pernah berfatwa tentang pergaulan yang bertentangan dengan konsep makarimal akhlaq. Dalam salah satu edaran fatwanya, tahun 1969 mereka menulis: Tidak haram hukumnya berjalan dengan tujuan akan berzina atau berbuat mesum dengan seseorang. Yang tergolong maksiyat adalah perbuatannya”.
Selanjutnya, dalam edaran fatwa Hizbut Tahrir tertanggal 24 Rabi’ul awal 1390 H, pemimpin mereka menghalalkan berciuman meskipun disertai dengan syahwat. Sementara Dalam edaran fatwa tanggal 8 Muharam 1390 H, ditulis: Dan barang siapa mencium orang yang baru tiba dari bepergian, baik laki-laki atau perempuan, serta tidak untuk bermaksud melakukan tujuan zina, maka hukumnya adalah halal”.

Bukan itu saja, dalam hal penetapan hokum syar’i, mereka cenderung ceroboh dan menganggap enteng. Dalam kitab Al-Tafkir hal. 149, dijelaskan: Sesungguhnya apabila seseorang mampu menggali hukum dari sumbernya, maka telah menjadi mujtahid. Oleh karenaya, maka menggali hokum atau ijtihad dimungkinkan bagi siapapun, dan mudah bagi siapaun, apalagi setelah mempunyai beberapa kitab lughot (tata bahasa arab) dan fiqh Islam”. Perkataan ini mengesankan terbukanya kemungkinan untuk berijtihad meskipun dengan modal pengetahuan yang sedikit.

ikhlas (pemalang ikhlas....heheheee)



AMALAN ZAHIR ADALAH KERANGKA SEDANGKAN ROHNYA ADALAH IKHLAS YANG TERDAPAT DENGAN TERSEMBUNYI DALAM AMALAN ITU. Amal lahiriah digambarkan sebagai batang tubuh dan ikhlas pula digambarkan sebagai nyawa yang menghidupkan batang tubuh itu. Sekiranya kita kurang mendapat kesan yang baik daripada latihan kerohanian hendaklah kita merenung dengan mendalam tubuh amal apakah ia bernyawa atau tidak. Hikmat 10 ini menghubungkan amal dengan ikhlas. Hikmat 9 yang lalu telah menghubungkan amal dengan hal. Kedua-dua Kalam Hikmat ini membina jambatan yang menghubungkan hal dengan ikhlas, kedua-duanya ada kaitan dengan hati, atau lebih tepat jika dikatakan ikhlas sebagai suasana hati dan hal sebagai Nur Ilahi yang menyinari hati yang ikhlas. Ikhlas menjadi persediaan yang penting bagi hati menyambut kedatangan sinaran Nur Ilahi. Apabila Allah s.w.t berkehendak memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya maka dipancarkan Nur-Nya kepada hati hamba tersebut. Nur yang dipancar kepada hati ini dinamakan Nur Sir atau Nur Rahsia Allah s.w.t. Hati yang diterangi oleh nur akan merasai hal ketuhanan atau mendapat tanda-tanda tentang Tuhan. Setelah mendapat pertandaan dari Tuhan maka hati pun mengenal Tuhan. Hati yang memiliki ciri atau sifat begini dikatakan hati yang mempunyai ikhlas tingkat tertinggi. Tuhan berfirman bagi menggambarkan ikhlas dan hubungannya dengan makrifat: Dan sebenarnya perempuan itu telah berkeinginan sangat kepadanya, dan Yusuf pula (mungkin timbul) keinginannya kepada perempuan itu kalaulah ia tidak menyedari kenyataan Tuhannya (tentang kejinya perbuatan zina itu). Demikianlah (takdir Kami), untuk menjauhkan dari Yusuf perkara-perkara yang tidak baik dan perbuatan yang keji, kerana sesungguhnya ia dari hamba-hamba Kami yang dibersihkan dari segala dosa. ( Ayat 24 : Surah Yusuf ) Nabi Yusuf a.s adalah hamba Allah s.w.t yang ikhlas. Hamba yang ikhlas berada dalam pemeliharaan Allah s.w.t. Apabila dia dirangsang untuk melakukan kejahatan dan kekotoran, Nur Rahsia Allah s.w.t akan memancar di dalam hatinya sehingga dia menyaksikan dengan jelas akan tanda-tanda Allah s.w.t dan sekaligus meleburkan rangsangan jahat tadi. Inilah tingkat ikhlas yang tertinggi yang dimiliki oleh orang arif dan hampir dengan Allah s.w.t. Mata hatinya sentiasa memandang kepada Allah s.w.t, tidak pada dirinya dan perbuatannya. Orang yang berada di dalam makam ikhlas yang tertinggi ini sentiasa dalam keredaan Allah s.w.t baik semasa beramal ataupun semasa diam. Allah s.w.t sendiri yang memeliharanya. Allah s.w.t mengajarkan agar hamba-Nya berhubung dengan-Nya dalam keadaan ikhlas. Dia Yang Tetap Hidup; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah kamu akan Dia dengan mengikhlaskan amal agama kamu kepada-Nya semata-mata. Segala puji tertentu bagi Allah, Tuhan yang memelihara dan mentadbirkan sekalian alam. ( Ayat 65 : Surah al-Mu’min ) Allah s.w.t jua Yang Hidup. Dia yang memiliki segala kehidupan. Dia jualah Tuhan sekalian alam. Apa sahaja yang ada dalam alam ini adalah ciptaan-Nya. Apa sahaja yang hidup adalah diperhidupkan oleh-Nya. Jalan dari Allah s.w.t adalah nikmat dan kurniaan sementara jalan dari hamba kepada-Nya pula adalah ikhlas. Hamba dituntut supaya mengikhlaskan segala aspek kehidupan untuk-Nya. Dalam melaksanakan tuntutan mengikhlaskan kehidupan untuk Allah s.w.t ini hamba tidak boleh berasa takut dan gentar kepada sesama makhluk. Oleh itu maka sembahlah kamu akan Allah dengan mengikhlaskan ibadat kepada-Nya (dan menjauhi bawaan syirik), sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai (amalan yang demikian). ( Ayat 14 : Surah al-Mu’min ) Allah s.w.t telah menetapkan kod etika kehidupan yang perlu dijunjung, dihayati, diamalkan, disebarkan dan diperjuangkan oleh kaum muslimin dengan sepenuh jiwa raga dalam keadaan ikhlas kerana Allah s.w.t, meskipun ada orang-orang yang tidak suka, orang-orang yang menghina, orang-orang yang membangkang dan mengadakan perlawanan. Keikhlasan yang diperjuangkan dalam kehidupan dunia ini akan dibawa bersama apabila menemui Tuhan kelak. Katakanlah: “Tuhanku menyuruh berlaku adil (pada segala perkara), dan (menyuruh supaya kamu) hadapkan muka (dan hati) kamu (kepada Allah) dengan betul pada tiap-tiap kali mengerjakan sembahyang, dan beribadatlah dengan mengikhlaskan amal agama kepada-Nya semata-mata; (kerana) sebagaimana Ia telah menjadikan kamu pada mulanya, (demikian pula) kamu akan kembali (kepada-Nya)”. ( Ayat 29 : Surah al-A’raaf ) Sekali pun sukar mencapai peringkat ikhlas yang tertinggi namun, haruslah diusahakan agar diperolehi keadaan hati yang ikhlas dalam segala perbuatan sama ada yang lahir mahu pun yang batin. Orang yang telah tumbuh di dalam hatinya rasa kasihkan Allah s.w.t akan berusaha membentuk hati yang ikhlas. Mata hatinya melihat bahawa Allah jualah Tuhan Yang Maha Agung dan dirinya hanyalah hamba yang hina. Hamba berkewajipan tunduk, patuh dan taat kepada Tuhannya. Orang yang di dalam makam ini beramal kerana Allah s.w.t: kerana Allah s.w.t yang memerintahkan supaya beramal, kerana Allah s.w.t berhak ditaati, kerana perintah Allah s.w.t wajib dilaksana, semuanya kerana Allah s.w.t tidak kerana sesuatu yang lain. Golongan ini sudah dapat menawan hawa nafsu yang rendah dan pesona dunia tetapi dia masih melihat dirinya di samping Allah s.w.t. Dia masih melihat dirinya yang melakukan amal. Dia gembira kerana menjadi hamba Allah s.w.t yang beramal kerana Allah s.w.t. Sifat kemanusiaan biasa masih mempengaruhi hatinya. Setelah kerohaniannya meningkat hatinya dikuasai sepenuhnya oleh lakuan Allah s.w.t, menjadi orang arif yang tidak lagi melihat kepada dirinya dan amalnya tetapi melihat Allah s.w.t, Sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Apa sahaja yang ada dengannya adalah anugerah Allah s.w.t. Sabar, reda, tawakal dan ikhlas yang ada dengannya semuanya merupakan anugerah Allah s.w.t, bukan amal yang lahir dari kekuatan dirinya. Tingkat ikhlas yang paling rendah ialah apabila amal perbuatan bersih daripada riak yang jelas dan samar tetapi masih terikat dengan keinginan kepada pahala yang dijanjikan Allah s.w.t. Ikhlas seperti ini dimiliki oleh orang yang masih kuat bersandar kepada amal, iaitu hamba yang mentaati Tuannya kerana mengharapkan upah daripada Tuannya itu. Di bawah daripada tingkatan ini tidak dinamakan ikhlas lagi. Tanpa ikhlas seseorang beramal kerana sesuatu muslihat keduniaan, mahu dipuji, mahu menutup kejahatannya agar orang percaya kepadanya dan bermacam-macam lagi muslihat yang rendah. Orang dari golongan ini walaupun banyak melakukan amalan namun, amalan mereka adalah umpama tubuh yang tidak bernyawa, tidak dapat menolong tuannya dan di hadapan Tuhan nanti akan menjadi debu yang tidak mensyafaatkan orang yang melakukannya. Setiap orang yang beriman kepada Allah s.w.t mestilah mengusahakan ikhlas pada amalannya kerana tanpa ikhlas syiriklah yang menyertai amalan tersebut, sebanyak ketiadaan ikhlas itu. (Amalkanlah perkara-perkara itu) dengan tulus ikhlas kepada Allah, serta tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya. (Ayat 31 : Surah al-Hajj ) “Serta (diwajibkan kepadaku): ‘Hadapkanlah seluruh dirimu menuju (ke arah mengerjakan perintah-perintah) agama dengan betul dan ikhlas, dan janganlah engkau menjadi dari orang-orang musyrik’”. Dan janganlah engkau (wahai Muhammad) menyembah atau memuja yang lain dari Allah, yang tidak dapat mendatangkan manfaat kepadamu dan tidak juga dapat mendatangkan mudarat kepadamu. Oleh itu, sekiranya engkau mengerjakan yang demikian, maka pada saat itu menjadilah engkau dari orang-orang yang berlaku zalim (terhadap diri sendiri dengan perbuatan syirik itu). ( Ayat 105 & 106 : Surah Yunus ) Daging dan darah binatang korban atau hadiah itu tidak sekali-kali akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya ialah amal yang ikhlas yang berdasarkan takwa dari kamu. (Ayat 37 : Surah al-Hajj ) Allah s.w.t menyeru sekaligus supaya berbuat ikhlas dan tidak berbuat syirik. Ikhlas adalah lawan kepada syirik. Jika sesuatu amal itu dilakukan dengan anggapan bahawa ada makhluk yang berkuasa mendatangkan manfaat atau mudarat, maka tidak ada ikhlas pada amal tersebut. Bila tidak ada ikhlas akan adalah syirik iaitu sesuatu atau seseorang yang kepadanya amal itu ditujukan. Orang yang beramal tanpa ikhlas itu dipanggil orang yang zalim, walaupun pada zahirnya dia tidak menzalimi sesiapa. Intisari kepada ikhlas adalah melakukan sesuatu kerana Allah s.w.t semata-mata, tidak ada kepentingan lain. Kepentingan diri sendiri merupakan musuh ikhlas yang paling utama. Kepentingan diri lahir daripada nafsu. Nafsu inginkan kemewahan, keseronokan, kedudukan, kemuliaan, puji-pujian dan sebagainya. Apa yang lahir daripada nafsu itulah yang sering menghalang atau merosakkan ikhlas. TANAMKAN WUJUD KAMU DALAM BUMI YANG TERSEMBUNYI KERANA YANG TUMBUH DARI SESUATU YANG TIDAK DITANAM ITU TIDAK SEMPURNA HASILNYA. Hikmat yang lalu mengarahkan pandangan kita kepada ikhlas. Ikhlas menjadi kekuatan yang menghalau syirik Jalan syirik adalah kepentingan diri sendiri. Oleh itu diri sendiri mesti diperhatikan bagi mengelakkan berlakunya syirik. Bila kepentingan diri sendiri boleh ditundukkan baharulah muncul keikhlasan. Dan juga pada diri kamu sendiri. Maka mengapa kamu tidak mahu melihat serta memikirkan (dalil-dalil dan bukti itu)? ( Ayat 21 : Surah adz-Dzaariyaat ) Hikmat 11 mengajak kita menyelami persoalan yang lebih halus iaitu hakikat diri kita sendiri atau kewujudan kita. Kita dijadikan daripada tanah, maka kembalikan ia (jasad) kepada tanah, iaitu ia (jasad) harus dilayani sebagai tanah supaya ia tidak mengenakan tipu dayanya. Apabila kita sudah dapat menyekat pengaruh jasad maka kita hadapi pula roh kita. Roh datangnya daripada Allah s.w.t, kerana roh adalah urusan Allah s.w.t, maka kembalikan ia kepada Allah s.w.t. Apabila seseorang hamba itu sudah tidak terikat lagi dengan jasad dan roh maka jadilah dia bekas yang sesuai untuk diisi dengan Allah s.w.t. Pada awal perjalanan, seseorang pengembara kerohanian membawa bersama-samanya sifat-sifat basyariah serta kesedaran terhadap dirinya dan alam nyata. Dia dikawal oleh kehendak, pemikiran, cita-cita, angan-angan dan lain-lain. Anasir-anasir alam seperti galian, tumbuh-tumbuhan dan haiwan turut mempengaruhinya. Latihan kerohanian menghancurkan sifat-sifat yang keji dan memutuskan rantaian pengaruh anasir-anasir alam. Jika diperhatikan Kalam-kalam Hikmat yang lalu dapat dilihat bahawa hijab nafsu dan akal yang membungkus hati sehingga kebenaran tidak kelihatan. Akal yang ditutupi oleh kegelapan nafsu, iaitu akal yang tidak menerima pancaran nur, tunduk kepada perintah nafsu. Nafsu tidak pernah kenyang dan akal sentiasa ada jawapan dan alasan. Hujah akal menjadi benteng yang kukuh buat nafsu bersembunyi. Jangan memandang enteng kepada kekuatan nafsu dalam menguasai akal dan pancaindera. Al-Quran telah memberi peringatan mengenainya: @Nampakkah (wahai Muhammad) keburukan keadaan orang yang menjadikan hawa nafsunya: tuhan yang dipuja lagi ditaati? Maka dapatkah engkau menjadi pengawas yang menjaganya jangan sesat? Atau adakah engkau menyangka bahawa kebanyakan mereka mendengar atau memahami (apa yang engkau sampaikan kepada mereka)? Mereka hanyalah seperti binatang ternak, bahkan (bawaan) mereka lebih sesat lagi. ( Ayat 43 & 44 : Surah al-Furqaan ) Dan kalau Kami kehendaki nescaya Kami tinggikan pangkatnya dengan (sebab mengamalkan) ayat-ayat itu. Tetapi ia bermati-mati cenderung kepada dunia dan menurut hawa nafsunya; maka bandingannya adalah seperti anjing, jika engkau menghalaunya: ia menghulurkan lidahnya termengah-mengah, dan jika engkau membiarkannya: ia juga menghulurkan lidahnya termengah-mengah. Demikianlah bandingan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlan kisah-kisah itu supaya mereka mahu berfikir. ( Ayat 176 : Surah al-A’raaf ) Manusia yang menerima ayat-ayat Allah s.w.t yang seharusnya menjadi mulia telah bertukar menjadi hina kerana mereka memperturutkan hawa nafsu. Ayat-ayat Allah s.w.t yang diketahuinya memancarkan cahaya pada hati dan akalnya tetapi kegelapan nafsu membungkus cahaya itu. Di dalam kegelapan nafsu, akal mengadakan hujah bagi mendustakan ayat-ayat Allah s.w.t yang dia sendiri mengetahuinya. Allah s.w.t mengadakan perbandingan yang hina bagi orang yang seperti ini. Mereka adalah umpama anjing yang tidak boleh berfikir dan tidak bermaruah. Buruk sekali pandangan Allah s.w.t terhadap orang yang mempertuhankan nafsunya. Nafsu yang tidak mahu kenyang adalah umpama anjing yang sentiasa menjulurkan lidahnya, tidak memperdulikan walaupun dihalau berkali-kali. Allah s.w.t mewahyukan ayat-ayat yang menceritakan tentang kehinaan manusia yang menerima ayat-ayat-Nya tetapi masih juga memperturutkan hawa nafsu, supaya cerita yang demikian boleh memberi kesedaran kepada mereka. Jika mereka kembali sedar, mereka akan keluar daripada kegelapan nafsu. Berpandukan ayat-ayat Allah s.w.t yang sudah mereka ketahui mereka akan temui jalan yang benar. Ayat-ayat yang diturunkan Allah s.w.t memberi pengertian kepada Rasulullah s.a.w bahawa cendikiawan Arab yang menentang baginda s.a.w berbuat demikian bukan kerana tidak dapat melihat kebenaran yang baginda s.a.w bawa, tetapi mereka dikuasai oleh hawa nafsu. Cahaya kebenaran yang menyala dilubuk hati ditutupi oleh kegelapan nafsu. Orang yang telah menerima cahaya kebenaran tetapi mendustakannya itulah yang diberi perumpamaan yang hina oleh Allah s.w.t. Menurut cerita daripada Ibnu Abbas, pada zaman Nabi Musa a.s ada seorang alim bernama Bal’am bin Ba’ura. Allah s.w.t telah mengurniakan kepada Bal’am rahsia khasiat-khasiat nama-nama Allah Yang Maha Besar. Nabi Musa a.s dan kaum Bani Israil, setelah selamat daripada Firaun, sampai hampir dengan negeri tempat tinggal Bal’am. Raja negeri tersebut ketakutan, takut kalau-kalau negerinya diserang oleh kaum yang telah berjaya menewaskan Firaun. Setelah bermesyuarat dengan penasihat-penasihatnya Raja tersebut memutuskan untuk meminta pertolongan Bal’am agar Bal’am menggunakan ilmunya untuk mengalahkan Nabi Musa a.s. Bal’am yang pada mulanya enggan berbuat demikian tetapi akhirnya bersetuju juga setelah isteri kecintaannya menerima sogokan daripada Raja. Bal’am dengan kekuatan ilmunya dan kemujaraban doanya telah mengenakan sekatan kepada Nabi Musa a.s. Menurut cerita, doa dan perbuatan Bal’am dimakbulkan Allah s.w.t dan ia menjadi sebab kaum Nabi Musa terperangkap di Padang Teh beberapa tahun lamanya. Apabila Nabi Musa a.s mendoakan agar kaumnya dilepaskan daripada sekatan tersebut, Allah s.w.t memakbulkan doa tersebut dan pada masa yang sama laknat turun kepada Bal’am. Sebahagian orang menganggap cerita di atas sebagai cerita Israiliat. Rasulullah s.a.w menentukan dasar bahawa cerita ahlul kitab tidak dibenarkan dan tidak didustakan. Cerita tersebut dibawa sekadar menunjukkan sejauh mana kekuatan nafsu menutup pandangan hati sehingga Bal’am sanggup menentang Nabi Musa a.s walaupun dia mengetahui kebenarannya, sebagaimana cendikiawan Arab menentang Rasulullah s.a.w sekalipun hati kecil mereka menerima kebenaran baginda s.a.w. Menundukkan nafsu bukanlah pekerjaan yang mudah. Seseorang itu perlu kembali kepada hatinya, bukan akalnya. Hati tidak akan berbohong dengan diri sendiri sekalipun akal menutupi kebenaran atas perintah nafsu. Kekuatan hati adalah ikhlas. Maksud ikhlas yang sebenarnya adalah: Katakanlah: “Sesungguhnya sembahyangku dan ibadatku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah Tuhan yang memelihara dan mentadbirkan sekalian alam”. ( Ayat 162 : Surah al-An’aam ) Dalam ikhlas tidak ada kepentingan diri. Semuanya kerana Allah s.w.t. Selagi kepentingan diri tidak ditanam dalam bumi selagi itu ikhlas tidak tumbuh dengan baik. Ia menjadi sempurna apabila wujud diri itu sendiri ditanamkan. Bumi tempat menanamnya adalah bumi yang tersembunyi, jauh daripada perhatian manusia lain. Ia adalah umpama kubur yang tidak bertanda.