TENTANG IPNU

Tentang IPNU

I. Sejarah lahirnya IPNU
Berawal dari ide para putra Nahdlatul Ulama, yakni pelajar dan santri pondok pesantren untuk mendirikan suatu kelompok atau perkumpulan .
• Pada tahun 1939 lahir PERSANO (Persatoean Santri Nahdlatoel Oelama).
• Pada tahun 1947 Lahir IMNU (Ikatan Murid Nahdlatul Ulama) di Malang.
• Pada tahun 1950 berdiri IMNU (Ikatan Mubaligh Nahdlatul Ulama di Semarang.
• PARPENO (Persatoean Pelajar Nahdlatoel Oelama) di Kediri.
• Di Bangil berdiri Ikatan Pelajar Islam Nahdlatul Ulama.
Namun organisasi-organisasi yang telah berdiri di atas masih berjuang sendiri-sendiri dan tidak mengenal di antara satu sama lain.
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, maka Almarhum Tholcha Mansyur (Malang), Sofyan Cholil (Jombang), H. Mustamal (Solo) bermusyawarah untuk mempersatukan organisasi-organisasi tersebut dalam satu wadah, satu nama dan satu faham dengan nama IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) saat berlangsung kongres LP Ma’arif di Semarang pada tanggal 24 Februari 1954/20 Jumadil akhir 1373 Hijriyah.
Pada kongres ke VI di Surabaya IPNU menjadi badan otonom NU (Nahdlatul Ulama). Sehingga IPNU Berhak mengatur rumah tangganya sendiri baik ke luar maupun ke dalam, tidak lagi tergantung kepada kebijakan LP Ma’arif.
Pada perkembangan selanjutnya IPNU berubah nama menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama saat kongres ke X di Jombang disebabkan organisasi pelajar yang diakui pemerintah hanya OSIS sebagai organisasi intra sekolah dan Pramuka sebagai organisasi ekstra sekolah. Sehingga ladang garap IPNU tidak hanya pelajar dan santri saja, tetapi juga pemuda, remaja dan mahasiswa.
Di dalam kongres XIV tanggal 18 – 24 Juni 2003 di Surabaya IPNU sepakat untuk kembali ke habitatnya semula dengan berganti nama menjadi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dengan orientasi pelajar, santri dan mahasiswa.
Lahirnya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan wadah pengkaderan bagi generasi muda NU yang bersumber dari kalangan pesantren dan pendidikan umum, yang diharapkan dapat berkiprah di berbagai bidang, baik politik (kebangsaan), birokrasi, maupun bidang-bidang profesi lainnya. Pada awalnya embrio organisasi ini adalah berbagai organisasi atau asosiasi pelajar dan santri NU yang masih bersifat lokal dan parsial.

II. Tujuan Organisasi

Terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah swt., berilmu, berakhlaq mulia, dan berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Di bidang pendidikan IPNU mempunyai tujuan:
• Untuk memelihara rasa persatuan dan kekeluargaan di antara pelajar umum, santri dan mahasiswa.
• Membina dan meningkatkan pendidikan dan kebudayaan Islam.
• Meningkatkan harkat masyarakat Indonesia yang berasusila dan mengabdi kepada agama, bangsa dan negara.

III. Trilogi IPNU
Konsep dasar perjuangan IPNU di masyarakat pelajar
Belajar – Berjuang – Bertaqwa

IV. Lambang Organisasi













~Gambar Logo IPNU~

Makna Logo
Warna dasar hijau tua: Subur
Bentuk bulatan: Kontinyu (berkesinam-bungan)
Lingkaran dasar putih Lingkaran tengah kuning: Hikmah dan cita-cita tinggi
Huruf IPNU putih: Suci
3 titik di antara singkatan IPNU: Islam, Iman, Ihsan
6 garis strip (kanan 3 dan kiri 3) putih: Suci
9 bintang kuning: Lambang NU
2 kitab putih: Al-Qur’an dan Al-Hadits
2 bulu angsa bersilang putih: Menuntut ilmu agama dan ilmu umum
5 sudut bintang: Rukun Islam

V. Citra Diri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
Citra diri IPNU & IPPNU dilandasi oleh pokok-pokok pikiran bahwa manusia bertanggung jawab melaksanakan misi khalifah, yaitu memelihara, mengatur, dan memakmurkan bumi.
Makna dan fungsi manusia sebagai khalifah memiliki dua dimensi, yaitu dimensi sosial (horizontal) dan dimensi ilahiah (vertikal)
1. Sosial bermakna mengenal alam, memikirkannya, dan memanfaatkan alam demi kebaikan dan ketinggian derajat manusia sendiri.
2. Ilahiah yaitu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan Allah SWT.
Secara sosiologis manusia merupakan suatu komunitas yang memiliki nila-nilai kemanusiaan (moral, nilai sosial dan nilai keilmuan)

VI. Kondisi IPNU Sebelum Khitthah NU
IPNU telah melangkah menuju kemajuan dan kiprahnya telah diakui masyarakat. Namun pada perkembangannya tidak dapat mencapai puncak programnya, karena NU sebagai organisasi induknya pada saat itu masih terbawa arus politik sehingga ummat tidak menjadi perhatian utama.

VII. Kondisi IPNU Pasca Khitthah NU
Perkembangan pasca khittah NU dan Kongres Jombang sangat menggembi-rakan karena khittah mampu mencipatkan iklim yang kondusif bagi pengem-bangan organisasi.
Namun IPNU menyadari bahwa sumbangannya sendiri dan masyarakat luas belum banyak. Dan generasi muda sebagai tenaga potensial pembangunan nasional membutuhkan pembinaan, maka IPNU memandang mendesak adanya konsep Citra Diri IPNU dalam rangka meningkatkan keperansertaannya dalam pembangunan bangsa.

VIII. Hakikat IPNU
IPNU adalah wadah perjuangan pelajar NU untuk mensosialisasikan komitmen, nilai-nilai kebangsaan, keislaman, keilmuan, kekaderan, dan keterpelajaran dalam upaya penggalian dan pembinaan potensi sumberdaya anggota yang senantiasa mengamalkan kerja nyata demi tegaknya ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamah dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

IX. Orientasi IPNU
Orientasi IPNU berpijak pada kesemestaaan organisasi dan anggotanya untuk senantiasa menempatkan pergerakan pada zona keterpelajaran dengan kaidah belajar, berjuang dan bertaqwa yang bercorak dasar dengan wawasan kebangsaan, keislaman, keilmuan, kekaderan, dan keterpelajaran.
1. Wawasan Kebangsaan, adalah wawasan yang dijiwai oleh asas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, yang mengakui kebhinnekaan sosial budaya, yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, hakikat dan martabat manusia, yang memiliki komitmen dan kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara berlandaskan prinsip keadilan, persamaan, dan demokrasi.
2. Wawasan Keislaman, adalah wawasan yang menempatkan ajaran agama Islam sebagai sumber motivasi dan inspirasi dalam memberikan makna dan arah pembangunan manusia, sehingga IPNU dalam bermasyarakat bersikap:
• Tawasuth dan I’tidal yakni menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kejujuran, bersikap membangun dan menghindari tindakan dan kehendak dengan menggunakan kekuasaan dan kedhaliman,
• Tasamuh yaitu toleran terhadap perbedaan pendapat
• Tawazun yaitu seimbang dalam menjalin hubungan antara manusia dan Tuhannya, serta manusia dan lingkungannya.
• Amar Ma’ruf Nahi Mungkar yaitu memiliki kecenderungan untuk melaksanakan usaha perbaikan, serta mencegah kerusakan harkat manusia dan kerusakan lingkungan, mandiri, bebas, terbuka, dan bertanggung jawab, bersikap dan bertindak.
3. Wawasan Keilmuan, adalah wawasan yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk mengembangkan kecerdasan anggota dan kader.
4. Wawasan Kekaderan, Wawasan yang menempatkan organisasi sebagai wadah untuk membina anggota agar menjadi kader-kader yang memiliki komitmen terhadap ideologi, cita-cita perjuangan organisasi, bertanggung jawab dalam mengembangkan dan membentengi organisasi. Membentuk pribadi yang menghayati dan mengamalkan ajaran islam ala Ahlussunah Wal Jama’ah, memiliki komitmen terhadap ilmu pengetahuian serta memiliki kemampuan teknis mengembangkan organisasai kepemimpinan, kemandirian dan kepopuleran.
5. Wawasan Keterpelajaran, adalah wawasan yang menempatkan organisasi dan anggota pada pementapan diri sebagai centre of excellence pemberdayaan sumbrer daya terdidik yang berilmu, berkeahlian dan visioner, memiliki strategi dan operasionalisasi yang berpihak kepada kebenaran, kejujuran serta amar ma’ruf nahi mungkar.

X. Posisi IPNU
a. Posisi Intern
IPNU sebagai perangkat dan badan otonom NU secara kelembagaan memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dengan badan-badan otonom lain yaitu memiliki tugas utama melaksanakan kebijakan NU.
b. Posisi Ekstern
IPNU adalah bagian dari generasi muda Indonesia yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia dan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya dan cita-cita perjuanagan Nahdlatul Ulama serta cita-cita bangsa Indonesia.
c. Fungsi
IPNU berfungsi sebagai:
• Wadah berhimpun pelejar NU untuk melanjutkan semangat, jiwa dan nilai-nilai Nahdliyah
• Wadah komunikasi pelajar NU untuk menggalang Ukhuwah Islamiyah dan mengembangkan syari’at Islam.
• Wadah kaderisasi pelajar NU untuk mempersiapkan kader-kader bangsa.
• Wadah aktualisasi pelajar NU dalam pelaksanaan dan pengembangan Syariat Islam

XI. Visi IPNU
Visi IPNU adalah terbentuknya putra putra bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlaq mulia dan berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksananya Syariat Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

XII. Misi IPNU
1. Menghimpun dan membina pelajar Nahdlatul Ulama dalam satu wadah organisasi IPNU
2. Mempersiapkan kader-kader intelektual sebagai penerus perjuangan bangsa
3. Mengusahakan tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan program perjuangan sesuai dengan perkembangan masyarakat (maslahah Al-Amah), guna terwujudnya Khaira Ummah
4. Mengusahakan jalinan komunikasi dan kerjasama program dengan pihak lain selama tidak merugikan organisasi

XIII. Struktur Organisasi IPNU
1. Pimpinan tertinggi IPNU di ibu kota Negara disebut Pimpinan Pusat IPNU (PP IPNU)
2. Pimpinan IPNU di provinsi disebut Pimpinan Wilayah IPNU (PW IPNU)
3. Pimpinan IPNU di kabupaten/kota disebut Pimpinan Cabang IPNU (PC IPNU)
4. Pimpinan IPNU di kecamatan disebut Pimpinan Anak Cabang IPNU (PAC IPNU)
5. Pimpinan IPNU di desa/kelurahan disebut Pimpinan Ranting IPNU (PR IPNU)
6. Pimpinan IPNU di Lembaga Pendidikan perguruan tinggi, pondok pesantren, SLTP/MTs, SLTA/MA dan yang sederajat disebut Pimpinan Komisariat IPNU (PK IPNU)

XIV. Alumni IPNU yang Menjadi “Orang Besar”
IPNU sebagai salah satu organisasi pelajar yang berskala nasional telah menumbuhkan berbagai tokoh-tokoh yang mempunyai peran penting dalam kemajuan Bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam. Tokoh-tokoh tersebut antara lain:
1. Bapak KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
• Mantan ketua IPNU Komisariat PP Tambakberas Jombang
• Mantan Presiden RI
• Ketua Dewan Syuro PKB
2. Bapak Prof. Dr. KH. M. Tolhah Hasan (Singosari)
• Duduk sebagai Ketua cabang IPNU Malang ketika masih di bangku SLTP
• Mantan Menteri Agama (Kabinet Indonesia Bersatu-Era Gus Dur)
• Pernah menghadap Bupati Malang dengan hanya memakai celana pendek (seragam SLTP pada waktu itu)
3. Bapak Dr. KH. A. Hasyim Muzadi (Malang)
• Mantan Ketua Cabang Tuban
• Ketua Pengurus Besar NU sekarang di Jakarta
• Sekjen ICIS (International Conference of Islamic Scholars – Forum silaturahmi ulama & cendekiawan Islam sedunia)
4. Bapak Hamzah Haz
• Mantan ketua Pengurus Cabang NU Kutai
• Mantan Wakil Presiden RI
• Ketua Umum DPP PPP
5. Ida Fauziah
• Anggota DPR RI – sekarang
• Ketua PPKB pusat – sekarang
6. Khofifah Indar Parawansa
• Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan
• Ketua PP Muslimat NU – sekarang
• Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.

I. Khatimah
Dengan berbagai pemaparan di atas, maka diharapkan generasi-generasi penerus IPNU & IPPNU dapat memahami organisasi IPNU & IPPNU sampai dengan permasalahan yang sekecil-kecilnya. Dengan pemahaman dan keteladanan dari tokoh-tokoh pendahulu IPNU & IPPNU, kita dapat menjadi penerus perjuangan yang benar-benar berjuang mewujudkan kejayaan ummat Islam, khususnya warga Nahdliyin Semua itu untuk mencapai satu tujuan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT sebagaimana motto IPNU & IPPNU “belajar, berjuang, dan bertaqwa”.
Cita-cita Kita:
“Terwujudnya pelajar-pelajar yang bertaqwa kepada Allah SWT,berilmu, inovatif, dan kreatif serta berguna dengan berdasarkan syariat Islam”


Konsep Kembali ke Khittah

1. IPNU sebagai jam’iyah diniyah adalah wadah para santri dan pengikut-pengikutnya yang didirikan, antara lain berdasarkan kesadaran bermasyarakat, pada tanggal 24 pebruari 1954 M atau 20 jumadil Ahir 1373 H konbes maarif NU di Semarang mengesahkan berdirinya dan bertujuan memelihara, melestarikan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian martabat manusia.
2. Khittah NU adalah landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga IPNU yang tercermin dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi dan dalam setiap proses pengambilan keputusan (decision making), berupa paham Islam Ahlussunnah wal jama’ah dan juga digali dari sejarah khidmahnya dari masa ke masa.
3. Dasar-dasar paham keagamaan IPNU bersumber dari Alqur’an, as-Sunnah, al-Ijma, al-Qiyas, dan menggunakan jalan pendekatan madzhab yang dipelopori Imam Abul Hasan al Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidy di bidang akidah, salah satu dari madhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan hambali dibidang fiqih; dibidang tasawuf mengikuti antara lain: Imam al-Junaid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali dan sebagainya. Dan IPNU mengikuti pendirian bahwa islam adalah agama fitri, bersifat menyempurnakan dan tidak menghapus nilai luhur yang sudah ada.
4. Dasar-dasar paham keagamaan IPNU tersebut menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan tawasuth wal i’tidal (tengan-tengah dan lurus), tasamuh (toleran), tawazun (keseimbangan) dan amar ma’ruf nahi mungkar.
5. Dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan IPNU itu membentuk perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai keikhlasan, mendahulukan kepentingan bersama, persaudaraan, persatuan, kasih-mengasihi, ahlaqul karimah, kesetiaan, amal dan prestasi kerja, ilmu pengetahuan dan para ahlinya, siap menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa manfaat bagi kemaslahatan manusia. Kepeloporan dalam usaha mempercepat perkembangan masyarakat, dan kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
6. Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan IPNU meliputi antara lain, peningkatan silaturrahmi, peningkatan di bidang keilmuan/pengkajian/pendidikan, penyiaran Islam/ pembangunan sarana peribadatan/pelayanan social, dan peningkatan tarap serta kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah.
7. Ulama sebagai mata rantai pembawa paham Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi, sedangkan untuk menangani kegiatan-kegiatannya, ditempatkan tenaga-tenaga yang sesuai dengan bidangnya masing-masing.
8. Sebagai organisasi kemasyarakatan, IPNU senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan nasional bangsa Indonesia dan aktif mengambil bagian dalam pembangunan bangsa.
Sebagai organisasi keagamaan, NU merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan, toleransi, dan hidup berdampingan dengan baik sesama umat Islam maupun sesama warga negara yang berbeda agama, untuk mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.
Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan, IPNU senantiasa berusaha secara sadar menciptakan warga negara yang menyadari hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan negara.
9. Pewujudan khittah NU, dengan seizin Allah, terutama tergantung kepada semangat pemimpin dan warga NU, cita-cita hanya akan tercapai jika mereka benar-benar meresapi dan mengamalkan Khittah NU ini.


Istiqamah dalam Khittah NU:
Penguatan Posisi Politik Masyarakat Terhadap Negara

Sudah maklum diakui, bahwa munculnya wacana dan gerakan civil society di Indonesia pada akhir tahun 80-an dan awal 90-an lebih banyak disuarakan oleh kalangan "tradisionalis" (Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan "modernis." Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, IPNU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Sedangkan kalangan modernis adalah kelompok yang kepentingannya relatif terakomodasi.
Dalam kondisi semacam ini, wacana civil society yang secara sederhana dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara, sangat populer dan berkembang di kalangan intelektual NU. Kalangan muda IPNU menjadi begitu "keranjingan" dengan wacana civil society dan pada saat yang sama mereka menjadi kekuatan "antinegara".
Dalam kondisi dimana negara (Orde Baru) begitu kuat (strong state) di satu pihak, dan rakyat begitu lemah di pihak lain, menjadikan wacana civil society menemukan momentumnya yang begitu kuat. Munculnya gerakan sosial baru (new social movement) sebagai pilar civil society pada era 90-an merupakan salah satu bukti kuatnya momentum tersebut.
Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke Khittah 1926 pada tahun 1984. Peristiwa tersebut telah mengubah hampir semua tatanan kehidupan komunitas NU, terutama yang berkaitan dengan orientasi gerakannya. Kembali ke Khittah 1926 bukan semata-mata berarti NU meninggalkan kehidupan politik, tetapi lebih sebagai perubahan orientasi gerakan politik. Jika sebelumnya NU menempuh strategi "politik panggung", politik struktural yang disediakan oleh pemerintah Orba, maka dengan kembali ke Khittah NU menempuh strategi "politik tanpa panggung", artinya dalam kehidupan politik NU menciptakan "panggung permainannya" sendiri dan-pada saat yang sama-mengabaikan panggung yang disediakan Pemerintah Orba.
Strategi politik yang demikian, tidak jarang menempatkan NU dalam posisi yang tidak mengenakkan karena selalu "berhadapan" dengan pemerintah. Efek dari strategi ini menjadikan NU semakin terpinggir dari pusat kekuasaan (centre of power) di satu sisi, namun di sisi yang lain, justru karena keterpinggiran itu peran NU sebagai embrio tumbuhnya civil society di Indonesia semakin mantap.
Para pengamat menilai, peran NU yang demikian merupakan horison baru yang cukup menjanjikan serta memiliki ruang gerak yang cukup lebar. Bila ditinjau dari kepentingan civil society di Indonesia, peran baru yang dilakukan NU mempunyai relevansi karena beberapa hal. Pertama, lahan garapan NU bukan semata-mata persoalan internal warga NU, namun menyangkut persoalan kebangsaan secara keseluruhan, seperti masalah keadilan politik, ekonomi dan sosial. Kedua, NU mengakui bahwa wilayah esensial bagi sebuah civil society yang mandiri kini menjadi komitmen perjuangannya melalui pemberdayaan rakyat (empowering society). Ketiga, NU pasca-Khittah 1926 menitikberatkan gerakannya pada level masyarakat yang ditujukan untuk memperkuat kemandirian dan kepercayaan dirinya (self confidence).
Wilayah kerja NU yang baru tersebut, wilayah kultural, memungkinkannya membuka wacana pemikiran baru sebagai counter discourse terhadap "wacana resmi" yang hegemonik. NU berhasil merebut dan membuka ruang publik (public sphere) yang selama ini dikuasai negara, sebagai "zona netral" yang memungkinkan rakyat untuk berdialektika secara intens dengan negara dalam posisi yang berimbang (balance). Peran demikian tidak mungkin dapat dilakukan oleh NU jika ia tidak berani melakukan "reposisi" peran politiknya dengan kembali ke Khittah 1926.
Dalam konteks ini, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan tokoh sentral yang sejak tahun 1984 mengawal Khittah NU. Sebagaimana diketahui, Gus Dur adalah sosok yang selalu gelisah untuk menyikapi realitas sosial yang mencerminkan adanya involusi dalam kehidupan berbangsa. Apa yang dilakukan NU di bawah komando Gus Dur, secara nyata merupakan geliat baru ormas yang selama ini hampir seluruhnya di bawah kooptasi negara.

Perlunya Memperioritaskan Kembali Agenda Kultural
Sampai batas-batas tertentu, keterlibatan NU dalam arus kekuasaan bukan saja akan mengancam keutuhan jam’iyah dan jama’ah intern NU-karena disadari atau tidak, fenomena itu akan mempertajam polarisasi di tubuh NU-tetapi juga mengancam eksistensi NU sebagai civil society. Masuknya tokoh-tokoh puncak NU dalam bursa pemilihan presiden bisa menjadi preseden buruk di masa datang. NU akhirnya hanya akan menjadi batu loncatan menuju ke tampuk kekuasaan.
Pilihan untuk kembali ke khittah 1926 sebetulnya merupakan keputusan strategis.
Dengan komitmen ini, NU sebetulnya sudah menentukan langkah untuk bermain di luar arena kekuasaan. Kenyataan bahwa NU telah "memiliki" PKB justru membuat NU lebih bisa berkonsentrasi untuk menggarap wilayah-wilayah kultural. Sebab, wilayah struktural (politik praktis) sudah "diurusi" PKB. Dengan demikian, hubungan NU dan kekuasaan relatif bisa dibangun secara obyektif, rasional, dan terbuka, terlepas apakah tokoh-tokoh NU berada di kekuasaan atau tidak. Inilah agenda kultural yang mesti segera dilakukan oleh NU.
Harapan ini memang tidak mudah karena pengalaman NU selama ini belum sepenuhnya bisa membuktikan daya tahannya terhadap godaan politik. Namun demikian, salah satu yang bisa diharapkan untuk terus menjaga eksistensi NU sebagai civil society adalah kelompok yang tetap konsisten di jalur kultural yang memainkan peran cukup sentral sejak NU kembali ke khittah 1926. Kelompok ini memang hanya salah satu dari tiga kelompok dominan di NU . Meminjam analisis Laode Ida (Prisma, Mei 1995), paling tidak ada tiga faksi dominan yang muncul dalam dinamika internal NU.
Pertama, faksi politik. Mereka ini terlibat langsung dalam percaturan politik praktis, baik di PKB maupun partai-partai lainnya, serta saling berebut pengaruh di basis-basis NU. Kelompok ini, karena keniscayaan harus bermain politik praktis, jelas sulit untuk bisa bisa diharapkan untuk bisa mendukung NU sebagai kekuatan civil society, kecuali mereka bisa menjalin komunikasi dan kerjasama strategis dengan aktivis civil society.
Kedua, faksi syuriyah/kiai. Sebagai kiai dan ulama, mereka adalah tokoh-tokoh sentral NU meski tidak semuanya duduk dalam struktur NU. Faksi ini, dalam era kembali ke khittah, mencoba merekonstruksi peran NU dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Mereka berusaha agar NU tetap setia kepada khittah 1926 dan memainkan peran-peran penting sebagai civil society. Sebagian dari kelompok ini kemudian tergoda orientasi politik, namun sebagian besar kelompok ini mencoba tetap setia terhadap cita-cita khittah 1926 sehingga dari kelompok terakhir inilah NU diharapkan akan terus memainkan peran penting sebagai kekuatan civil society.
Ketiga, faksi cendekia. Mereka ini adalah (1) kecuali memiliki ilmu pengetahuan agama (Islam) yang mendalam juga disiplin atau keahlian tertentu yang diperoleh dari lembaga pendidikan umum, atau (2) mereka berasal dari lembaga pendidikan pesantren dan IAIN yang secara fleksibel membuka diri mendalami ilmu selain agama, (3) mereka juga memiliki banyak gagasan yang secara terbuka dipublikasikan untuk kepentingan kalangan nahdliyin maupun masyarakat umum, serta memiliki komitmen sosial yang tinggi.
Jika dua faksi terakhir bisa bekerja lebih maksimal dalam menjaga independensi NU terhadap kekuasaan serta terus berusaha mengawal dan memantapkan posisi NU sebagai civil society seperti diamanatkan khittah 1926, NU tidak perlu menghabiskan energi untuk terlibat dalam berbagai tetek bengek politik praktis. Toh sudah ada PKB yang menjalankan tugas itu. Sebaliknya, NU bisa mencurahkan segenap energinya dalam gerakan-gerakan kultural untuk memberikan pelayanan lebih maksimum tidak hanya kepada komunitasnya tetapi juga kepada bangsa ini.
Namun, menjalankan tekad untuk “kembali ke jalan yang benar” seperti salah satunya ditunjukkan dengan sangat elegan dalam keputusan Rembang, bukannya tanpa kendala. Dalam satu segi, NU telah memberikan contoh yang sangat bagus bagaimana seharusnya organisasi sosial menempatkan diri sebagai kekuatan civil society di tengah gelombang politik yang demikian besar. Dengan keputusan itu, NU diharapkan menjadi kontrol moral tidak hanya terhadap proses perebutan kekuasaan, tetapi juga terhadap proses-proses politik berikutnya setelah kompetisi itu selesai.
Dalam segi yang lain, NU harus betul-betul bekerja keras untuk menunjukkan komitmennya melaksanakan misi kultural di atas. Persoalannya adalah, mesin organisasi NU seringkali tidak cukup efektif di tingkat akar rumput. Tingkat pemahaman akan konsep khittah dan wawasan politik yang cukup beragam serta lemahnya bangunan struktur organisasi (instituional building) merupakan penyebab penting munculnya permasalahan tersebut. Oleh karena itu, konsolidasi jam’iyyah harus tetap ditumbuhkan. (Disadur dari berbagai sumber).
Makna lambang IPNU adalah Warna hijau melambangkan subur, kuning melambangkan hikmah yang tinggi dan putih bermakna kesucian. Warna kuning di antara putih melambangkan hikmah dan cita-cita yang tinggi
Bentuk bulat bermakna kontinyu, Istiqomah, dan terus menerus
Tiga titik di antara di antara kata I.P.N.U , bermakna Islam, Iman, Ihsan
Enam strip pengapit huruf I.P.N.U bermakna rukun iman
Bintang berarti ketinggian cita-cita
Sembilan bintang : lambang keluarga Nahdlatul ‘Ulama.
Satu bintang paling besar di tengah : Nabi Muhammad SAW
Empat bintang di kanan dan kiri : Khulafaur Rosyidin, yakni Abu Bakar As-Shiddiq ra, Umar bin Khottob ra, Utsman Bin Affan ra, dan Ali bin Abi Tholib ra
Empat bintang di bawah : madzhab empat, yaitu Imam Hanbali, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Syafi’i
Dua kitab : Al-Qur’an dan Al-Hadits
Bulu lambang ilmu. Dua bulu angsa bersilang melambangkan sintesa antara ilmu umum dan ilmu agama Islam
Sudut bintang lima bermakna rukun Islam

2 komentar: